Belajar Kearifan Budaya Jawa dari Buku Tirai Menurun Karya NH Dini

4 tokoh dengan karakter dan garis nasib berbeda mengadu nasib di kota Semarang sebagai anak wayang di padepokan Kridolaksono pimpinan pak Cokro. Kedasih, Kintel, Sumirat, dan Wardoyo, 4 anak wayang yang selalu setia menyajikan budaya luhur Jawa meski tergerus jaman.

Di waktu malam mereka menjelma menjadi putri, pangeran, raja, ratu, maupun resi pertapa suci dengan bermandikan gemerlap sinar lampu dari perada maupun manik-manik. Di siang hari mereka memainkan nasib sebagai rakyat jelata yang papa dengan dibebani selaksa kebutuhan hidup dan perut. Apakah itu cukup? Tidak. Gelar anak wayang maupun ledek juga berarti negatif di kalangan masyarakat normal. 4 tokoh di atas terlalu mencintai profesi dan padepokannya hingga tak peduli dengan anggapan masyarakat. Mereka harus mbarang untuk membeli nasi besok pagi.

Sumirat yang lembut dan sangat berbakat menari menemukan cintanya pada si duda beranak empat Wardoyo yang juga penari Sri panggung. Mereka berdesakan menempati sepetak mess padepokan yang hanya berdinding triplek. Kedasih, sri panggung kedua lebih beruntung karena menikah dengan Kintel yang menjadi juragan becak yang sekaligus memanfaatkan badan raksasanya untuk menjadi tokoh hewan di panggung. Bersama tokoh-tokoh utama padepokan Kridolaksono, mereka bertahan mengimbangi gerusan teknologi bioskop yang baru memasuki kehidupan kota Semarang. Tak terhitung duka nestapa maupun selaksa bahagia mereka alami. Tak terhitung kecintaan mereka akan wayang sehingga berani menentang kehendak orang tua yang menginginkan anaknya mapan menjadi pegawai kantor. 

Buku ini sarat akan pepatah dan budaya Jawa. Di semua halaman bertebaran pepatah Jawa maupun gerakan tari yang sangat orisinil sehingga saya yang asli Jawa terus saja terkagum-kagum dengan pengetahuan NH Dini. Lebih jauh, NH Dini terlalu jujur mengupas kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa pinggiran yang masih senang tirakat, Islam KTP, maupun yang mengaku tidak beragama sehingga cukup membuat jengah. Lepas dari itu, kita bias belajar tentang budaya Jawa pinggiran, kehidupan sehari-hari anak wayang, tata cara nglakoni, mitoni, menikah, selapanan, semua lengkap di sini.

Membaca buku ini mengajarkan kita pada hidup yang setiti, legowo, nerimo ing pandum, dan tetap yakin bahwa kemuliaan selalu bisa didapat meski kita miskin.

Ada sebuah quote indah di buku ini yang aku suka – ada puluhan quote spesial di semua buku – dan layak direnungkan. 
Rame ing gawe, sepi ing pamrih 
Memayu hayuning bawono
Banyak berkarya tanpa mengharapkan balasan
Membangun kebahagiaan lingkungan.
Review ini diikutkan dalam Kita Berbagi yang diselenggarakan Cyber Dreamer neng Inge. Semoga bukunya buat Tante ya say. Tante suka mereview buku kok. Hehe… siapa tahu rayuan pulau kelapanya manjur dan bukunya meluncur ke Jepara. Amin.

5 Komentar

  1. Suka sekali, mbak. Kalo ada rejeki memang ada niat mulai mengoleksi bukunya nanti. Buku yang ini hadiah tali asih pakde Cholik dan baru satu-satunya.

    BalasHapus
  2. Sudah saatnya kita kembali ke "Kearifan Lokal" yang benar-benar di hayati dengan baik, untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bukan hanya slogan..

    BalasHapus
  3. Mas Derdian: Setuju sekali. banyak kearifan lokal yang tergerus pola hidup. sangat mengagumkan kala nenek mertua saya menasehati tentang cara hidup setiti dan apa adanya yang beliau terapkan. Hmm... luar biasa.

    BalasHapus
  4. Lamoly: Terima kasih do'anya ya. ;)

    BalasHapus
  5. Saya pernah baca bukunya NH Dini yang judulnya "namaku Hiroko", itu jg bagus ya mba Sus ;)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)