Jodoh, Maut, Rejeki... aaaargh...

Mungkin belum genap 100 hari ini saya jadi pribadi beda. Dan celakanya, saya takut jika pribadi baru ini agak tenggelam kembali. Arrgghh..... gara-gara beda paham tentang jodoh, maut dan rejeki.
Saya tak tahu tepatnya, tetapi sejak 3 bulan lalu, Ida, saudari kembarku serumah. Rasanya... WOW... bayangkan saja, sejak usia 36 hari kami terpisah jarak Jepara-Demak, sempat serumah lagi setelah berusia 28 tahun, dan pisah lagi, dan kini serumah lagi, dan hampir berpisah lagi. Galau? Tentu saja tidak. Jalan hidup manusia, siapa yang tahu. Jalani yang terbaik dan jangan pernah menyesal. Itu prinsip saya.



Kurleb 3 bulan ini saya punya teman curhat, teman tertawa tiap hari, teman bikin/jualan flanel (haghag... teteeep...). Kami berdua jadi terlihat lebih cantik karena selalu tertawa bersama. Isilah kami, MENERTAWAKAN DUKA. Namanya manusia, kan selalu saja ada cobaan tiap menit & detik. Dan kami selalu menemukan cara untuk tertawa. Sekarang, tiba-tiba dipaksa berpisah, lagi-lagi karena urusan jodoh, maut dan rejeki. ... arrggghh.....

Emak yang notabene ibu kandung saya selalu cemas jika kami serumah. Beliau berpandangan jika saudari kembar serumah, maka akan ada yang kalah. Kalah rejeki atau kalah umur atau ada yang meninggal satu. Soo... emak cemas dan ketakutan selama 3 bulan ini. Kami baru tahunya sih 1,5 bulan yang lalu. Lain emak, lain pula Ibu yang mengasuh saya sejak bayi. Beliau sedemikian behagia mendapat 2 putri kembar nan cantik, baik hati dan rajin (#narsis ga papa ya). Ketika kami berdua mengatakan perihal kecemasan emak, Ibu menjawab dengan enteng, "Umur & rejeki kuwi kuwosone Gusti Allah". Ketika dijawab, mungkin emak orang jaman dulu, dan dengan enteng ibu menjawab lagi, "usiaku lebih tua dari emakmu." Sayang kami tak bisa mengubah cara pandang emak, sampai sekarang.

Bisa saja kami ngeyel serumah dengan alasan yang sama seperti kata Ibu, dan kami telah amini bahkan sebelum kecemasan ini mengganggu kebahagiaan kami. Tapi kami berdua bukan tipe anak yang memaksakan kehendak kami. Dari dulu, ridho ortu adalah utama, bahkan untuk urusan kerja dan jodoh. Pokoknya emak bahagia, kami bahagia. Ingat dengan "Jika ingin melihat surga/neraka? Lihat wajah ibumu. Bahagianya adalah surgamu, murkanya adalah nerakamu." Mungkin kalimatnya agak beda ya, saya lupa juga sih. Yang jelas, manut saja pada kehendak ortu. So... kami sibuk cari-cari rumah tinggal baru untuk Ida agar emak berhenti cemas. Sekota atau luar kota? Yang jelas Ida tidak may kembali ke Demak. Biarlah takdir menentukan. Kami hanya bisa meminta petunjuk Allah. Diam-diam, kami juga merasa sedih, tak bisa hahahihi setiap hari. Aaarrrgghhh.... jengkel? Tidak. Hanya menyayangkan keputusan yang harus kami ambil.

8 Komentar

  1. bener ngomonge emak "Umur & rejeki kuwi kuwosone Gusti Allah" :)

    BalasHapus
  2. Memang susah kalau orang tua sudah khawatir. Dulu Ibu khawatir kalau saya berangkat ke Jakarta hari Sabtu. Saya pun manut. Alasannya bukan karena percaya takhayul, cuma takutnya kualat karena tidak manut sama Ibu. Tapi, kalau kepepet, ya Ibu saya tidak melarang. Sekarang, sih, sudah biasa saja pergi hari Sabtu. Ibu saya sepertinya sudah melihat kalau tidak ada hari sial dalam bepergian.

    BalasHapus
  3. Pindah ke Jember aja mbak Sus, biar tetanggaan sama saya mbak Ida.

    Cari deket-deket aja deh, biar ora kepikiran lagi

    BalasHapus
  4. satu kota saja mbak jadi masih bisa sering bertemu

    BalasHapus
  5. Jangan jauh-jauh pindahnya mbak Susi... biar bisa sering hahahihi...

    BalasHapus
  6. Mbaaa pindah aja ke BAndung biar jadi tetanggaku..
    Bener kata Emak tuuh..!!
    Love Emak deh..
    Salam ya buat beliau.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)