Seribu... Sejuta... Semilyar... Cinta Ibu Tak Terbatas

Gadis manis itu melangkah pelan memasuki rumah. Ia tampak cantik dalam balutan seragam SMU. Badannya bonsor dan lansing seperti model di kota besar. Mungkin jika dia tidak terjebak di pelosok desa, ia sudah menjadi model.  Ia melepas sepatu dan mencium tangan semua saudara – termasuk saya - yang sedang berkumpul di rumahnya. Hari ini, adik terkecilnya berusia selapan hari sehingga suasana rumahnya lebih ramai dari biasa. Ia duduk di samping ibu dan bermaksud menggendong sang adik bayi. Ibunya berkata, “Ganti baju dulu.” Dan saya terkejut sekali ketika si Gadis manis menjawab dengan enteng dan wajah tak perduli, “Urusanmu?”

Gadis, saya akan menyebutnya begitu agar lebih enak....

Ketika mendengar jawabannya yang singkat padat dan berat itu, bayangan saya tentang sosok cantiknya langsung buyar. Saya memandangnya dengan "rasa" yang berbeda. Selama sehari di sana,  saya mulai memahami seperti apa keluarga ini dan problematikanya. Saya dapat memahami ketegangan hubungan ibu – anak ini didasari pada ketidakmampuan ekonomi, perasaan bersalah sang ibu, dan harapan berlebihan dari sang anak. Si gadis mengharap memiliki fasilitas seperti teman-teman yang lain ketika mengijinkan sang ibu menikah kembali. Harapannya sang ayah baru akan melepaskan dirinya dari kondisi serba tidak punya. Tetapi rupanya kemiskinan masih setia di lingkup keluarganya. Beban keluarga semakin berat. Orang tuanya tidak sanggup mewujudkan apa yang menjadi angan. Dalam kekecewaannya, Gadis merasa tidak diurus dengan layak oleh ibunya. Rasa marah ini ia lampiaskan pada sang ibu karena ia tak berani pada ayah barunya. Untuk menunjukkan kekesalannya, ia selalu menjawab “Urusanmu?”setiap kali sang ibu menyuruhnya melakukan sesuatu. Benarkah sesimpel itu? Bisa jadi, karena yang simple itu biasanya berakar cukup kuat di dalam.

Selama saya di rumah itu, saya mendengar beberapa kali kata “(bukan) urusanmu” ini diucapkan sebagai jawaban Gadis. Saya merasakan gatal mulut dan tangan. Saya ingin menampar mulutnya dan melemparkannya ke sudut. Wajar jika saya menahan reaksi dan diri karena saya orang luar. Yang dapat saya katakan ketika hanya berdua saja dengan si gadis ini adalah menasehatinya agar membantu ibu dan mematuhinya. Jawaban yang saya dapat adalah desahan dan ia menarik kaki ke kursi sambil mengambil HP. Mulailah kegiatan ber-sms-ria. Astaghfirullahal adzim… saya hanya dapat menahan lidah, mengurut dada dan berkata,“Nduk, kamu akan menyesal sekali nanti. Percayalah…. ”
*******


Sebuah keluarga selalu memiliki sumber ketegangan keluarga. Selalu ada “masalah” dalam keluarga yang harus diselesaikan. Penyebabnya bisa apa saja. Pelaku dan korbannya bisa sang anak, bisa juga orang tua. Kematangan emosi sangat berpengaruh pada jenis masalah keluarga yang pasti ada ini. Tingginya ilmu dan dalamnya kesabaran yang dimiliki tetap akan bertemu dengan masalah (ujian) yang harus diselesaikan. Maka kesabaran, ketegasan dan kepemimpinan orang tua harus terus diasah agar rumah tangga tidak goyah. Yang tak boleh terlupa adalah, jangan sampai anak kehilangan kepercayaan dan perasaan dicintai oleh orang tuanya. Jangan malu mengucapkan kalimat cinta, bangga dan pujian pada anak.

Di situasi ekonomi yang sulit, orang tua harus jujur kepada anak dan terus menguatkan dirinya dan anak-anaknya.  Membuat anak mengerti dan bahkan membantu oran g tua mengatasi kesulitan ekonomi keluarga bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Komunikasi keluarga yang berjalan dengan baik akan membantu anak mengerti posisi keluarganya dan dapat menempatkan dirinya sebaik mungkin. Sayang sekali, menurut pengamatan saya secara umum, orang tua di jaman sekarang banyak yang tidak memiliki pegangan yang baik dalam bersikap bijak dan tegas. Melihat kehidupan rumah tangga sekarang ini rasanya seperti melihat kanak-kanak yang bermain boneka-bonekaan. Hanya saja, yang menjadi boneka adalah manusia yang merupakan darah daging mereka sendiri. Semoga saja pengamatan saya ini salah.

Saya percaya, bahwa anak adalah perhiasan dunia sekaligus cobaan bagi orang tuanya. Seperti ayat yang mengatakan, “Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Qs. Al Anfal: 28). Secara tersurat, ayat ini mengatakan bahwa anak adalah salah satu cobaan bagi para orang tuanya. Begitu juga sebaliknya. Karena sesungguhnya setiap manusia menjadi ujian bagi manusia yang lainnya. Jadi apapun bisa menjadi penyebab keretakan hubungan, pembangkangan anak dan kejengkelan orang tua. Maka mengajarkan dan membiasakan akhlak yang baik pada mereka adalah keharusan. Ini adalah tugas yang tak akan pernah lepas sebelum nafas terakhir meninggalkan badan.

Saya sebagai orang luar di keluarga yang saya bicarakan di atas, hanya dapat merasa perihatin. Iya, saya prihatin dengan keluarga ini. Bukan hanya pada sang ibu yang sabar, tetapi juga pada sang anak yang tidak menyadari kesalahannya. Keduanya sudah terikat kuat dengan benang-benang kehidupan yang berwarna-warni. Ada suka, ada duka. Harapan maupun kekecewaan. Aneka rasa mengikat mereka sehingga perlu usaha lebih untuk mengurainya.

Jika boleh jujur, (selain rasa kecewa) saya mempunyai rasa kagum pada kesabaran ibu Gadis ini. Karena saya bukan tipe ibu yang akan diam saja ketika mendengar anak saya membantah perintah saya. Bahkan pura-pura tidak mendengar saja sudah memicu saya membuat ultimatum “Lakukan sekarang atau hak mainmu dikurangi!”. Mendengar anak berbicara kasar pada saudaranya membuat saya bereaksi memanggil nama lengkapnya dengan suara lantang dan menaikkan jari telunjuk ke atas sebagai sinyal peringatan pertama. Yah, saya hanya mempunyai 3 toleransi kesalahan sebelum memberlakukan hukuman keras yaitu memotong hak main atau hak jajan anak. Saya termasuk ibu yang tegas tetapi dicintai anak. Makanya saya kagum bagaimana ia mampu menahan diri ketika diperlakukan anak dengan kurang baik di depan banyak tamu. Jika saya, mungkin sudah menguncinya ke dalam kamar dan melarangnya keluar sampai semua tamu keluar. Entahlah… saya sangat tidak ingin kejadian serupa terjadi pada saya. Untuk alasan itulah saya mengambil posisi sebagai pengasuh utama dan keluar dari pekerjaan saya yang sangat lumayan posisi dan gajinya. Saya memilih mengajak anak hidup seadanya tetapi semua teratur sesuai posisi masing-masing. Bukan berarti ini pilihan terbaik bagi semua orang, tetapi bagi saya yang memiliki ibu pejuang ekonomi tangguh yang bekerja dari subuh sampai sore, ini adalah pilihan terbaik bagi saya dan keluarga.

Antara saya dan ibu sang gadis mungkin memiliki cara yang berbeda dalam mengungkapkan rasa cintanya pada sang anak. Saya tak hendak mengurai kesalahannya dalam mendidik anak. Setiap ibu mempunyai cara mengungkapkan cintanya pada anak. Saya mengungkapkan kecintaan saya dengan membentuk mereka sesuai dengan apa yang saya pahami. Ibu Gadis juga demikian. Kesabarannya menghadapi pemberontakan sang anak gadis adalah wujud dari rasa kasih sayangnya. Ia tahu bahwa anak perempuannya adalah anak yang baik dan pandai. Di sekolah ia sering rangking di tiga besar. Para guru memujinya. Ia cantik dan bertubuh bongsor. Ia supel dan aktif di organisasi. Ia gadis yang membuatnya bangga. Maka sebagai rasa bersalah karena tidak mampu memfasilitasi sang anak adalah alasan di balik semua kesabarannya. Ia mampu menanggung semua demi sang anak. Bukankah semua ibu demikian? Ibu selalu memiliki seribu alasan untuk menutupi kesalahan anak. Ia memiliki sejuta alasan untuk memaafkan anak. Dan ia memiliki semilyar cinta untuk anak. Semilyar? Tidak… bahkan belum ada bilangan yang tercipta untuk mendeskripsikan cinta ibu. Kasih sayangnya tak berakhir bahkan ketika nafas terakhir dicabut dari raganya. Karena hati ibu seluas samudera.

Ada harapan terpendam saya, Gadis akan menemukan artikel ini, dan menyadari kesalahannya. Secepatnya. Semoga tak sampai berbulan kemudian. Semoga penyesalan itu tidak hadir saat ia sudah berkeluarga dan tengah mengandung. Karena hampir setiap wanita merasakan penyesalan yang serupa ketika ia menjadi seorang ibu yang berpayah dalam mengurus anaknya. Semoga ia tak sampai menunggu terlambat meminta maaf kepada sang ibu.

Artikel  ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera

13 Komentar

  1. Selamat mengikuti kontes semoga membuahkan kemenangan...

    BalasHapus
  2. duuh... ikut nyesek membacanya... semoga anak itu segera menyadari kesalahannya sblm terlambat.. dan semoga cara Allah membukakan hatinya tak terlalu pedih untuknya...

    BalasHapus
  3. Semoga deh tulisan seperti ini suatu hari bisa menyentuh hati semua anak gadis yang seperti cerita di atas.

    BalasHapus
  4. Baguus banget mbak tulisanya.Penuh makna.Sekarang ini banyak anak anak seperti si gadis yg gak sopan sama orang tua

    BalasHapus
  5. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
    Segera didaftar
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  6. Sahabat tercinta,
    Saya mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah mengikuti Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera di BlogCamp. Setelah membaca artikel peserta saya bermaksud menerbitkan seluruh artikel peserta menjadi buku.

    Untuk melengkapi naskah buku tersebut saya mohon bantuan sahabat untuk mengirimkan profil Anda dalam bentuk narasi satu paragraf saja. Profil dapat dikirim melalui inbox di Facebook saya atau via email.

    Jangan lupa cek email ya, ada berita penting
    Terima kasih.

    BalasHapus
  7. hmmm... Kayanya banyak anak gadis skrg yang seperti itu...semoga mereka cepat sadar....

    BalasHapus
  8. Duuhh miris dan nyesek kl liat anak model begini... ga inget dia bisa sebesar itu n sepintar itu karena siapa....
    Semoga si gadis n gadis2 lain membaca artikel ini. Goodluck mbak :)

    BalasHapus
  9. Miris dan nyesek kl liat anak model begini.. ga inget dia bisa sebesar itu karena siapa??
    Semoga si gadis n gadis2 lain baca artikel ini.
    Goofluck mbak :)

    BalasHapus
  10. faktor ekonomi terkadang dianggap menjadi penyebab..mengapa sang anak bersikap kasar kepada orang tua...., namun terkadang ada faktor lain yang jadi penyebabnya,, seperti misalnya komunikasi yang terhambat antara orang tua dengan sang anak...,
    nice artikel...selamat berlomba...semoga menjadi salah satu yang terbaik.....keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)

    BalasHapus
  11. Miris saya Mba, baca ceritanya.
    Semoga si Gadis cepat baca tulisan Mba Susi ya..

    BalasHapus
  12. rasanya memang bukan satu dua saya melihat kondisi yang sama...semoga saya bisa menjadi ibu yang baik, tetap tegas mengajarkan yang benar namun dicintai anak-anak...makasih sharingnya mba...bon chance :)

    BalasHapus
  13. Halo, Mbak Susindra. Lama tak main ke blog ini, hihihi...
    Kisahnya menginspirasi, Mbak. Semoga saja nanti bisa sama-sama membacanya lagi dalam bentuk buku. Amin...

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)