Karimunjawa, Surga Impian di Tanah Jawa: Mengenang Karimunjawa 20 Tahun yang lalu

Pukul 12 siang, Kapal Siginjai yang membawa kami bertujuh, tim ekspedisi 200 Tahun karimunjawa, tiba di dermaga karimunjawa. Sedikit terlambat dari jadwal, meski tak sampai belasan menit. Ombak memang cukup tinggi pada tanggal 7 Mei ini.  Saya yang biasanya tangguh di perjalanan akhirnya tumbang. Mabuk laut, muntah 2 kali berturut-turut. Dengan langkah tertatih, saya menuju ke lambung tengah kapal yang goyangannya lebih smooth. Saya langsung jatuh tertidur di tikar seorang penumpang yang baik hati. Ketika kapal berhenti, kami bertujuh sedemikian bahagia terlepas dari alunan ombak yang membuat kapal menari salsa dengan nada riang. Daratan…. Daratan.... Kami berjalan cepat untuk menyongsongnya. Karimunjawa, Surga Impian di Tanah Jawa, kami siap mendengarkan kisahmu. Namun sebelumnya, izinkan saya mengenang peristiwa 20 tahun lalu saat mengenalmu untuk pertama kalinya.


Karimunjawa, kita mengenalnya sekarang sebagai destinasi wisata favorit di Jawa Tengah. Beberapa jenis transportasi telah bisa menjangkaunya. Memang terbatas pada jenis transportasi laut dan udara, namun jangkauannya lebih luas. Tak harus ke Jepara  untuk menuju ke sana. Sudah ada kapal dari Semarang, Kendal, dan kota lainnya. Maskapai penerbangan Airfast Air siap menjangkau dengan biaya di bawah 300 ribu rupiah pada hari Rabu dan Jumat (CMIW). Bahkan, Garuda pun memiliki beberapa paket menuju ke pulau surgawi ini, yang bekerja sama dengan kapal Pelni. Maka, jangan heran jika semakin banyak jumlah wisatawan harian. Namun jangan khawatir, kita tak harus berebut tempat, karena kepulauan Karimunjawa sangat luas. Dan yang menakjubkan adalah, setiap jengkalnya sangat indah.


Bandara Dewandaru Karimunjawa

Mungkin Sobat Susindra penasaran, kapan pertama kali industri pariwisata memasuki Karimunjawa. Sejatinya, ini pertanyaan yang sangat menarik. Karena tak banyak yang mengingat kapan tepatnya. Istilah wisatawan pada tahun 1900-an masih agak rancu dengan “rawuhan”. Rawuhan adalah sebutan awal bagi para tamu yang mengunjungi Karimunjawa. Kala itu, ketika ada rawuhan, para tetangga saling bantu memberikan suguhan secara sukarela. Saya masih mengalami kenangan keramahan ini pada tahun 1998. Ketika hendak membeli seekor ayam untuk di bakar di pulau Kemojan. Kami berniat camping di sana. Seorang tetangga memberikan ayamnya tanpa mau dibayar. Teman perjalanan saya yang menginap di dekat dermaga pun ketika pulang diberi oleh-oleh beberapa ikan tongkol bakar. 

Keramahan serupa saya dapatkan di dukuh Duplak, desa Tempur Jepara dan saya tulis di blog ini dan di Kompasiana

Pulau yang sangat indah itu, pada awal tahun 1900-an memang masih sepi pengunjung. Beberapa investor asing (dan lokal dari Semarang) telah mengendusnya sejak akhir 1980-an. Pada tahun 1998, saya ke Karimunjawa setelah mendengar keindahannya disebut-sebut. Saat itu sudah ada beberapa penginapan dan privat resort di Pulau Tengah. Di pusat pemerintahan Karimunjawa, listrik telah menyala dari jam 6 sore sampai jam 10 atau 12 malam. Sedangkan di desa yang agak jauh seperti Nyamplungan, listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai jam 8 atau 9 malam. Hanya 2 jam per hari!

Contoh rumah di Karimunjawa yang meski sederhana tetapi memiliki parabola.
Sejatinya, ini rumah dinas bidan di Pulau Genting yang diambil tanggal 10 Mei 2018 lalu
Mengingat kenangan 20 tahun lalu di Karimunjawa, mau tak mau membuat saya tersenyum geli. Mahasiswi Pendidikan Bahasa Asing semester 2, yang masih menangis ketika mati lampu. Yang selalu mojok di sudut depan rumah, menggantungkan kebaikan cahaya bulan ketika lampu listrik tak bisa diandalkan dan stok lilin kosong. Berbeda dengan sekarang ini yang malah tak bisa tidur jika lampu dinyalakan. 20 tahun memang perjalanan yang sangat panjang. 

Ketika itu, saya tinggal di rumah Mas Sahid di desa Nyamplungan selama 8 hari. Istrinya yang baik selalu menyalakan sebuah lampu uplik (lampu minya kecil) sejak pukul 5.30, bahkan sebelum listrik menyala. Kenangan bulan Maret 1998 yang sulit dilupakan. Saat itu saya belum memiliki kamera, sehingga semua kenangan tersimpan di dalam memori saja. Dan, tentu saja, saya harus berterima kasih sekali pada Ida, saudari kembar saya yang mengajak ke sana ketika berbulan madu. Yuhui… ia menikah ketika saya masih kuliah dan tahu bahwa saudarinya ini akan sangat senang diajak wisata ke surga yang belum secara massif diberitakan. 


20 tahun 2 bulan kemudian, saya bertemu Mas Sahid
Tak dinyana, saya kembali lagi, 20 tahun kemudian. Meski bukan di bulan yang sama, namun terasa luar biasa. Pada bulan November 2015 saya sempat kembali ke karimunjawa selama 2 hari. Flash return dan hanya wisata kecil, namun membuat saya terkejut dengan perubahannya. Daan… perubahan tahunnya lebih luar biasa. Terutama karena listrik sudah menyala 12 jam. Dan sejak tahun 2016, listrik menyala 24 jam. Luar biasa, bukan? 


Perjalanan ini membawa banyak kenangan bagi saya pribadi. Saat bercerita tentang ini, saya jadi merasa sudah tua. Saya tak ingat kata rawuhan disematkan pada rombongan kecil kami. Namun, saya ingat benar, bahwa penduduk dengan ramah menerima kami. Saat itu, desa Nyamplungan masih memiliki banyak sawah. Air jernih dan tawar dapat kami temukan di sumur yang cukup dangkal. Saya takjub. Rumah yang kami tempati cukup dekat dengan garis pantai. Sawah sebelah menyebelah dengannya. Namun sumber air tawar tak pernah kurang. 

Wajah Karimunjawa sekarang
Kala itu, kelapa juga masih banyak di sekitar rumah. Degan bisa diambil tanpa sungkan. Singkong pun tinggal bedol. Ikan karang yang lezat bisa dipancing selepas salat Isya, lalu dimasak dengan sambal kemiri. Sambal khas Demak. Setidaknya saya hanya pernah makan sambal ini di sana. Aduhai lezatnya. Ketika kami ingin jalan-jalan berperahu, seorang tetangga meminjamkan secara sukarela. Sebuah perahu kecil yang bergerak menggunakan dayung. Kami melihat karang laut yang indah dengan mata telanjang di atas perahu kecil tersebut. Membiarkan arus membawa kami ke tengah. Ketika warna-warni karang berganti dengan warna biru keabu-abuan, kami dengan cepat mengayuh perahu ke arah darat. Indahnya kenangan itu. Ketika matahari makin meredup, kami tersadar oleh waktu, dan dengan malu menemukan para tetangga Mas Sahid telah berkumpul dengan cemas di bibir pantai. Mereka khawatir tamu  muda mereka tenggelan di laut karena tak terlihat sejak pukul 1 siang. Oh! La! La! Surga itu memang melenakan. Wajah hitam kemerahan adalah imbalan yang pas, karena kami telah terlalu lama bercengkrama dengannya. 

Juga kenangan ketika mengunjungi tambak udang pertama di pulau Kemojan yang dimiliki oleh orang dari Juwana. Saya lupa di mana tempatnya dan siapa yang punya. Yang saya ingat adalah kelezatan memasak singkong bersama ayam, karena tak ada nasi di sana. Sederhana, namun terasa seperti berada di negeri antah berantah yang tak memiliki listrik. Atau bahkan tak terasa seperti di dunia yang saat itu mulai menghangat oleh isu reformasi menggulingkan pemerintahan Presiden Soeharto. Mungkin karena listrik sangat terbatas, sehingga berita itu tak sampai di sana.


Wajah dermaga ikan di Karimunjawa sekarang
Itulah kenangan saya, 20 tahun yang lalu. Belum termasuk kenakalan remaja 18 tahun lain, yaitu mendaki gunung kecil di sana, hanya menggunakan alas kaki berupa sandal jepit. Kami secara spontan memutuskan mendaki gunung pasca ziarah di makam Sunan Nyamplungan. Kami mendaki dengan bayangan aneka cerita mitos tentang ular edor yang saat itu masih jarang diketahui bentuknya. Saat itu, kami mendaki dengan perasaan cemas karena kabarnya, ular tersebut sangat kecil, menyatu dengan pohon, dan dapat terbang antar pohon. Ketika kami tersesat di tebing, kami nekat turun menggunakan pohon-pohon muda yang sangat ulet menahan tubuh kami dan dapat digunakan layaknya tali. Terbayang nekatnya? Yah… saya sendiri masih giris jika ingat kenekatan itu. 

Kini, sudah 20 tahun berlalu. Tentu saja, Karimunjawa sudah banyak berubah. Listrik telah menjadi 24 jam. Anak-anak sedari kecil memegang gawai ke mana-mana. Generasi menunduk juga tercipta di sana. 3-4 anak duduk bersama, tanpa kata, karena semua sibuk menghadapi layar kotak. Yang agak saya rindukan adalah binar bahagia para tuan rumah ketika ada tamu. Bisa dipahami, jika sedemikian banyaknya tamu dengan aneka karakter bisa membuat tuan rumah lebih senang menunggu apa maunya tamu terlebih dahulu. 

Tentu saja tidak semua begitu. Masih banyak warga Karimunjawa yang menyambut tamu sebagai rawuhan. Binar mata dan semangatnya masih menyala. Saya ingin menyebut nama, namun sungkan jika ada nama yang tidak disebutkan, dan ternyata karena faktor lupa. Biarlah ini jadi catatan kecil saja, yang juga menjadi keperihatinan Kang Sri sebagai pengundang. Faktanya, Karimunjawa memang memiliki sejuta cerita, yang jika diramu, akan menghasilkan buku serupa kudapan yang lezat. Terutama kisah-kisah lama yang telah kami gali, mulai tahun 1949 sampai 1990-an awal dari berbagai narasumber.


Pertanyaan besar saya, sampai kapankah gotong royong seperti di bawah ini masih akan lestari? 




Di jantung Karimunjawa, telah banyak rumah yang berubah menjadi hotel dan homestay. Atau, kalaulah masih berupa rumah, biasanya menerima tamu seperti layaknya guesthouse. Denyut pariwisata berdegup kencang. Ketika kami semakin jauh menelusuri jalanan menuju pulau Kemojan, satu dua hotel dan homestay siap menerima wisatawan. Sampai jauh ke desa Nyamplungan yang dahulu sepi pun sudah ada. Ah ya, desa Nyamplungan sebagai desa agraris telah berubah. Sudah sejak lama, tak ada lagi sawah di sana. Ada beberapa tambak ikan yang menggantikannya. Menurut cerita, abrasi laut telah mematikan sawah. Air tanah telah menjadi asin. Ombak menyapu sawah yang hijau dan mematikan padi. Saya mendengar kabar ini dengan hati yang terasa pedih.

Namun itulah harga sebuah perubahan. Ketika sebuah wilayah terbuka, maka perubahan dan penyamaan budaya menjadi penyerta. Bagaimanapun, kelaziman itu tak boleh melenakan. Tak bisa dicegah dan tak boleh diabaikan. Dan, kedatangan kami sebagai tim ekspedisi sejarah Karimunjawa membawa misi untuk mengingatkan kembali yang terlupa dan mengisahkan kembali bagi yang belum tahu. Perjalanan kami masih panjang.  Karimunjawa, surga impian di tanah Jawa, izinkan kami mengisahkan perjalananmu, sejak manusia pertama menemukanmu.

2 Komentar

  1. 200 tahun karimunjawa bukan angka yang kecil
    semoga karimunjawa kedepannya tetap santun dan bersih.

    BalasHapus
  2. Rasanya gimana gitu ketika flashback ke waktu puluhan tahun yang lalu. Ada perubahan2 yang bikin kangen. :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)