Budak-Budak Tangguh di The Prisoner of Beauty

Drama Cina The Prisoner of Beauty atau Tawanan Cinta sudah berakhir. Tapi banyak yang menarik dibahas. Salah satunya yaitu kesetian para jenderal besar yang dapat "diperjualbelikan" karena mereka sesungguhnya adalah budak yang berstatus tinggi.

Mungkin penonton drama tersebut akan mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin? 


Budak-Budak Tangguh di The Prisoner of Beauty


Jika membaca buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I pernyataan tersebut akan lebih mudah dicerna. 

Tak sedikit yang mengernyit, mengabaikan dan tersinggung dengan pernyataan Tomé Pires yang menyatakan, 

"Kakek raja Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang 'budak belian' dari Gresik (Pires, Suma Oriental, hal. 183-184)


Raja Demak yang dimaksud olehnya adalah Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak. Mengapa ia mengatakan demikian? 

Karena itulah peradaban asli orang Asia Tenggara zaman itu, meskipun Islamisasi sudah berlangsung (masih scope kecil). Jadi Pires menyatakan sudut pandang orang yang ia tulis pada jurnal perjalanannya. 

Bukankah dalam kronik dan tambo dinyatakan bahwa Raden Patah adalah putra Brawijaya yang diasuh Raja Palembang? 

Cobalah baca buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I untuk tahu betapa luas sebutan budak di Asia Tenggara termasuk di Nusantara dan jauh berbeda dengan konsep budak yang diketahui di zaman modern. 

Semua orang yang bukan penguasa akan dengan senang hati menghamba dan menjadi budak untuk perlindungan, sehingga patih pun bisa menyebut diri budak bagi rajanya.

Penonton drakor... hayo.. pasti ingat etika saat menyebut rajanya, kan?


Yuk revenue à nos moutons.... Balik ke topik utama tentang budak-budak tangguh di Prisoner of Beauty.


Jenderal dan 50 ribu pasukannya jadi mahar

Saat Perburuan Rusa di Negara Wei, Su E Huang atau Nyonya Menara Yu alias Lady Yu Lao mengumumkan dirinya punya 50 ribu pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Xue Tai. Mendengar namanya saja sudah membuat orang gentar. Tapi ia dimiliki seorang janda yang terusir dari rumahnya.



Ia akan menjadikan Jenderal Xue Tai dan 50 ribu pasukannya sebagai mahar darinya. Menikahi janda itu berarti memiliki pasukan yang sangat tangguh. Sejalan dengan rumor yang beredar sejak belasan tahun lalu, bahwa menikahi Su E Huang berarti menguasai dunia. 


Hal semacam ini akan dirasa absurd jika tidak mengetahui kondisi sosial budaya saat itu. Dan memahami betapa dekatnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Tiap sendi ada urat dari sana, baik urat besar maupun halus. Dan ini nyata ada, bisa dipertanggungjawabkan secara akademik sejak lama, dan ditulis oleh para sejarawan dunia sejak lama.

Hanya kitanya yang jarang tahu atau baca saja.... 

Kebetulan saya baca kembali buku itu untuk yang kesekian kali saat menonton The Prisoner of Beauty


Para jenderal yang lebih sering kocak tapi tetap garang saat perang

Banyak sekali muncul di The Prisoner of Beauty atau Tawanan Asmara yang menunjukkan 4 jenderal mengelilingi Wei Shuo seperti Punokawan dalam kisah perwayangan Jawa. Mereka tidak pulang dan tertidur di sekeliling "tuan" mereka. Apa mereka tak ada kegiatan lain selain menjadi nyamuk di pemerintahan?



Sekali lagi, mereka ini sebenarnya adalah budak yang beruntung karena sejak kecil menjadi teman belajar Zhongling (nama asli Wei Shuo di rumah). 

Oh iya soal nama bisa baca artikel saya The Prisoner of Beauty sebelumnya. Saya menjelaskan detail arti perfektur (wilayah) dan mengapa nama "orang berdarah biru" ada 2 (nama lahir dan nama setelah upacara kedewasaan). Atau bisa baca artikel Blossom - Kuntum Bersemi saya juga menjelaskan nama lahir dan gelar/nama setelah upacara kedewasaan. Wait, saya menulis mengapa Ning Yan selalu dipanggil Xu Qi An dalam Guardian of Dafeng.

Para Jendral yang punya nama marga Wei ini setia amat ya pada Tuan Muda Wei. Apakah mereka bersaudara? Tentu tidak.. mereka anak angkat di sana, karena prestasi dan loyalitas mereka. Asal usulnya tidak jelas dan tidak dijelaskan. Hanya disebut sekilas kalau mereka menemani "tuan muda Wei" sejak kecil.



Dalam pengaturan status, mereka adalah para budak tidak terikat. Tentu saja mereka dihormati dan disegani seluruh kota, dan tak ada masalah dengan status tersebut. Lagi-lagi, konsep perbudakan di masa lalu tidak seperti konsep perbudakan di Barat. 


Kusir kuda jadi Penguasa Boya

Bizhi adalah kusir kuda dari Keluarga Qiao. Ia cuma diberi otot besar, tapi tak pintar. Ia seperti monster (ganteng) yang bisa dikendalikan oleh orang yang ia cintai. 

Beruntung orang yang ia cintai dan mencintainya adalah Qiao Fan (putri pertama Gubernur Qiao). Mereka kawin lari dan dengan saran Qiao Man (tokoh sentral The Prisoner of Beauty) mereka menetap di Boya sebagai penguasa merdeka. 



Boya memang awalnya tanah tak bertuan tapi punya banyak penduduk. Maka, tak ada yang salah jika bendera Qiao ditancapkan di sana. Tinggal bagaimana mereka akan bertindak selanjutnya, mengakui negara mana atau tetap merdeka dengan konsekuensi terus-menerus diserang wilayah lain yang ingin mencaploknya.

Sebenarnya Boya ingin, secara implisit dipandang sebagai bagian dari keluarga Wei, sehingga para penyerang akan merasa segan dan enggan. Siapa yang mau mengganggu "macan Wei". 


Paman penasihat yang seperti budak

Oke, kalau ini sih kebablasan, ya, karena secara status Liu Shan adalah adik penguasa Negeri Liangya. Ia selalu menemani keponakannya Liu Yan sejak jadi anak yang tersisih karena kejamnya ibu tiri (permaisuri) sampai menjadi raja. 



Status Liu Shan naik menjadi penasihat sekaligus tangan kanan raja baru, tapi ia tidak semerdeka 'para budak' yang diceritakan sebelumnya. Ia selalu diancam nyawanya akan diambil jika tak sependapat dengan raja Mao Qing (nama baru Liu Yan). 


Ada banyak sisi menarik dari drama-drama Cina, bisa disandingkan dalam kebudayaan kita di Jawa dan Indonesia pada umumnya. Meskipun pengaruh Cina tidak tampak dari besarnya candi atau tampak luar dari masjid-masjid kuno, namun banyak sendi bercorak Cina. 

Para peneliti bangunan masjid tua bisa melihat struktur perkayuan dalam bangunan lawas tersebut punya kesamaan dengan teknik joinery atau teknik persambungan kayu. Tampak sangat jelas pada di Masjid Demak dan Masjid Menara Kudus. Keduanya didirikan pada abad ke-16. 

Yang nyaris terlupakan karena sudah diakui 100% milik Indonesia adalah seni dan budaya, dan kehidupan sehari-hari kita. Banyak akarnya dari peradaban Cina kuno. Nenek moyang kita berasal dari beragam suku bangsa dan umumnya sangat terbuka menerima kebudayaan baru tanpa meninggalkan kebudayaan lama.

4 Komentar

  1. Wahh ceritanya seru sih ini. Baca sinopsis dan ceritanya aja udah menarik. Pengen coba lihat fullnya...

    BalasHapus
  2. Tulisan tentang 'Budak-Budak Tangguh di The Prisoner of Beauty' ini membuka wawasan baru tentang sejarah dan budaya. Menarik melihat bagaimana konsep perbudakan di masa lalu berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Terima kasih telah berbagi perspektif yang mendalam.

    BalasHapus
  3. Ternyata memang deh kebudayaan Indonesia dan CIna itu ada urat nadinya mau yang halus maupun kasar :D Ini ceritanya ada unsur sejarah juga ya. Menarik untuk ditonton untuk me time cocok sekali.

    BalasHapus
  4. Wih, aku lama sekali nggak nonton C-drama. Terakhir tu nonton tahun lalu, Tll we meet again kalau nggak salah sama nonton the legend of white snake. Hehehe... Pengen lagi nonton yang ini, soalnya tuh visual sama pakaiannya keren-keren, sambil bayangin kapan ya indo punya konsep se-ciamik ini untuk drama-drama kolosalnya. :D

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)