Ramona dan Beezus. Film ini sukses membuat saya da suami tertawa terpingkal-pingkal sekaligus gemes. Rasanya pengen mencubit pipi cabi Ramona yang diperankan Joey King. Ia begitu aktif dan imaginative. Ia selalu bergerak ke sana kemari. Melakukan ini itu. Sekilas, saya mengingat Binbin, anak keduaku pada diri Ramona. Saya selalu heran dengan kaki-tangannya yang selalu aktif. Bergerak ke mana saja. Dan sering menabrak benda-benda yang dijejalkan di rumah sempit saya. Haduh… rumah saya sulit terlihat rapi lebih dari 1 jam.
Ramona & Beezus

Ramona berbeda dengan Beezus (selena Gomez) kakaknya yang sangat cantik, mempesona dan smart. Type anak ideal. Mereka nampak seperti 2 kutub yang berbeda. Kontan saja jika mereka sering bertengkar dan berseberangan. Padahal jika percakapan di film ini diperhatikan, kala seusia Ramona, Beezus pun memiliki watak yang sama. 

Ketika melihat film ini, saya seperti melihat gambaran utuh sebuah keluarga. Ramona yang aktif dan imaginatif sering melakukan hal baik yang berakhir buruk. Sayang sekali jika hanya hal buruk yang disadari keluarganya. Banyak orang tua yang tak melihat bagaimana “kenakalan” sering berawal dari keinginan membuat sesuatu yang baik. Dan banyak orang tua yang “mematikan” kreativitas anak karena tidak melihat kebaikan yang ingin dibuat si anak.

Selena sang kakak, anak dan murid ideal. Ia sangat cantik & smart. Ketika bertemu dengan teman akrab sebayanya,  yang mulai ingat bagaimana masa kanak-kanaknya juga aktif dan imaginatif sebelum bermetamorfosa menjadi seperti sekarang. Sang ayah yang mempunyai posisi mapan di kantor tiba-tiba dipecat. Ia harus di rumah menggantikan tugas rumah tangga istrinya yang bekerja. Alur cerita mengalir wajar ketika sang ibu yang kelelahan sepulang bekerja menjadi pemarah dan tahunya beres. Semua beradaptasi. Semua bermetamorfosa. Saat itulah, keluguan dan imaginasi si kecil Ramona berubah menjadi disaster bagi sekitarnya , namun menjadi sumber kelucuan bagi penonton filmnya.

Ketika menonton film ini bersama suami, saya memang banyak tertawa. Tetapi ada rasa sedih di hati. Mengingat banyaknya orang tua yang tak melihat “the hole picture” dari perbuatan anak. Ketika anak memecahkan gelas, banyak ibu yang berteriak memarahi anak. Mereka tak sadar bahwa alasan awal anak memecahkan gelas adalah karena ia melihat ibunya begitu repot sehingga tak tega meminta tolong, misalnya. Atau contoh lainnya, ketika anak menggambar diniding rumah. Bisa jadi saat itu anak ingin memberi hadiah berupa gambar di dinding? Intinya, tak ada anak yang nakal. Itu menurut saya. Selama mereka tidak melakukan aktivitas fisik seperti memukul.

Adegan bertengkar
Benarkah? Saya harus kembali ke realita sekarang. Bukan realita ala film. Di kehidupan nyata, saya sering melihat anak saling pukul. Saling lempar. Saling mengolok. Rasa-rasanya, sulit mencari anak yang bebas dari perbuatan negatif ini. Saya dengan menyembunyikan resah di dada, selalu wanti-wanti pada 2 anak saya agar jangan meniru perbuatan teman-temannya. Saya prihatin melihat contoh nyata kenakalan anak yang dilihat kedua anak saya sehari-hari. Memukul, mengejek, mengadu domba, memfitnah, berbohong, bahkan mengambil milik temannya. Rasanya saya ingin segera berlari dan pergi dari rumah tinggal saya saat ini. Apalagi jika anak-anak saya merengek-rengek minta pindah rumah. Ya Allah….. inilah salah satu ujian saya.  Saat saya harus berada di dekat ibu, tapi mendekatkan anak pada bahaya perubahan sikap dan tingkah laku. Ibu bersikeras tinggal di rumah ini. Meski semua hal dikomentari negatif oleh ibu, tetapi ia tak mau jauh dari rumah ini. Dan saya sebagai anak terakhir sekaligus anak angkat harus mengurus ibu sampai akhir hayat. 

Saya sudah berkali-kali berfikir positif, dan bersugesti, tak ada anak yang nakal. Yang ada hanya anak yang salah asuh. Tetapi saya tak mungkin mengabaikan perasaan negatif yang terlanjur ditangkap kedua anak saya. “Anak-anak di sini sangat nakal sekali, Ma. Aku tak suka di sini. Ayo ke rumah lama.” Sering kali Destin, si sulung minta pindah. Permintaannya akan berhenti kalau saya jawab, “Mbah gimana?” dan ia pun terdiam. Di usainya yang ke 9 ia sudah paham bahwa neneknya butuh didampingi dan dibantu. Di usianya yang ke 9 ia paham bahwa salah satu tugasnya dan tugas mamanya adalah menjadi kaki tangan neneknya yang tetap memaksa berjualan meski asam urat dan osteoporosis telah membuatnya menyeret kaki setiap berjalan dan tak bisa menenteng benda yang lebih berat dari ½ kg. bisa jadi ini adalahbentuk keegoisan orang tua yang telah menginjak usia 83 tahun. Tetapi saya dan keluarga menerimanya sebagai tugas yang harus diemban dengan ikhlas. 

Saya tak henti berharap agar kenakalan anak-anak sekitar rumah hanya menjadi “gembar perbuatan terlarang dan harus dijauhi” bagi anak-anak saya. Destin yang sudah berusia 9 tahun sudah berhasil memilah sifat dan sikap yang harus dihindari. Binbin yang masih berusia 5 tahun sudah mulai meniru memukul. Dan hukuman kami untuk perbuatan negatif itu sebatas mengikat tangannya dengan kedua tangan saya seperti belenggu. Binbin cukup tahu perbuatan apa yang akan mendapat hukuman, dan mana yang mendapat pujian. Sehingga meski mulai terpengaruh, tetapi hanya berupa reaksi dari apa yang ia terima dari temannya.

Berkali-kali saya berkata pada destin, agar kasihan pada temannya yang nakal. “Ia tidak nakal. Ia hanya tidak tahu.” Itulah sugesti positif saya pada Destin. Saya ingin ia memahami, bahwa teman-teman nakalnya hanyalah sekelompok anak yang tersesat jalan. Anak yang salah asuhan. Tiap saat mereka mendapat hardikan, cemoohan, atau pukulan dari orang tua mereka, sehingga sifat dan sikap itulah yang mereka kenal. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari adalah ungkapan yang tepat. Ortu menghardik dengan kata kotor, anak akan ahli berbicara kotor. Ortu menghukum secara fisik, maka anak akan menjadi “petinju” bagi temannya. Ortu mudah mencemooh, maka anak akan lebih sering berbicara kotor dan menghina. Dan yang lebih parah dari semua itu adalah, anak menjadi mudah berbohong (yang akhirnya menjadi fitnah) karena tak mau dihukum orang tua mereka. Bukankah itu yang namanya salah asuh? 

Namanya anak-anak, ada kalanya Destin lupa dan mengadu. “Ma si A tadi pipis di depan rumah kita.” Atau “Ma, si B tadi berbohong, katanya aku ….” Bla.. bla.. bla.. Saya hanya bisa mengelus dada dan berkata, “Tahukah kamu, nak, sumber dosa utama ada 4. Di pikiranmu, di hatimu, di mulutmu, dan di perbuatanmu. Mama harap kamu jangan banyak mengadu. Mama harap kamu jangan berfikir temanmu nakal sekali meski dalam hati atau pikiran. Jangan pula membalas dengan mulut atau tanganmu. Doakan saja agar ia segera insyaf. Agar tak banyak dosanya.

Begitulah, sobat. Bagaimana sebuah film lucu, bisa membuat saya banyak merenung tentang hidup ini. sesuai dengan salah satu moto hidup saya. “Hidup itu sebuah sitkom. Kadang lucu, lebih sering tidak. Tetapi banyak yang bisa ditertawakan jika kita mau. Duka tertawakan saja agar awet muda dan hidup bahagia.”