Sepatu Cinderella dan Analogi Rezeki Itu Pasti


Alkisah, di negeri antah berantah, ada seorang dara muda yang merana. 
Ia bergelimang harta, wajahnya cantik tanpa cela. Ada yang mengganggu hatinya, pangeran rupawan yang didampa, mencari pasangan hidupnya, berdasar ukuran sepatunya. Tak ada yang bisa, kecuali Cinderella. 

Sejujurnya saya heran, mengapa saya tiba-tiba menulis seperti di atas. Dengan beberapa pertimbangan, saya hentikan dan menulis ala biasa saja. Ribet, Say, kalau harus menulis dengan memperhatikan rima. Itu salah satu alasan saya enggan menulis puisi, meski puisi saya cukup banyak ketika sedang diputus cinta. Aih... orang-orang yang sedang patah hati lebih produktif, ya.



Bicara sepatu dan rezeki, akhir-akhir ini ada sahabat dari Banten yang menyebabkan kehebohan rumah tangga beberapa ratus orang. Mungkin sudah mencapai seribu. Menurut saya, itu sangat-sangat keren. Bikin status kontroversi tanpa niat dan masih tergolong bermartabat itu sangat-sangat sulit. Dan Mbak Eria Ash-shidqi bisa melakukannya.
Penasaran?

Silakan cari di Facebook ya. Karena saya menulis tanggapan ini juga tanpa izin. Saya menanggapinya juga di facebook pribadi. Bukan bermaksud apa-apa, saya tidak ikuti status viral karena lelah menghadapi notifikasi. Cukuplah bagi saya bisa membaca komentar dan tanggapan semua yang terlibat. Bagi saya, itu sebuah pelajaran berharga.

Ketika saya menuliskan tanggapan di facebook pribadi saya, rupanya beberapa teman tidak puas dan ingin lanjut. Beberapa curcol juga, meski tak seheboh di status Mbak Eria. 



Kalau dari curhatan pengeluaran teman-teman saya yang seabrek-abrek, saya melihat bahwa kecenderungan yang terjadi adalah, mereka MERASA butuh. Iya. Karena lifestyle sudah menjadi bagian dari hidup. Dan lifestyle menjadi kebiasaan yang melekat setelah melakukannya selama 90 hari. Jika terbiasa pakai kosmetik x, memakaikan pampers Y, membeli susu Z dan memberi uang harian sejumlah tertentu, sulit memahami jika ada yang tidak melakukan itu. Daftar ini bisa sangat panjang, sesuai gaya hidup masing-masing. Jadi, wajar jika  akan shock ketika mengetahui ada yang tidak membutuhkan semua yang masuk daftar di atas.

Kalau analogi termudah – dan mengapa tiba-tiba saya menulis ala-ala roman picisan di pembuka – adalah proses sang Pangeran Tampan bertemu Cinderella melalui sepatu berukuran khusus. Sangat khusus sehingga orang yang memiliki postur tubuh sama persis pun tak bisa memakainya. HANYA CINDERELLA YANG BISA. Karena kaki Cinderella ditempa oleh jalan-jalan yang dilalui kakinya.

Jika para perempuan memaksakan diri memakai sepatu Cinderella demi mendapatkan berkah Pangeran Tampan, cara yang logis adalah dengan menyakiti dirinya sendiri, yaitu motong kaki jika ukurannya terlalu besar. Bagi yang berkaki kecil akan berusaha tak kalah keras demi memiliki kaki yang besar. Saya pernah membaca kalimat makjleb’

Jangan mengukur sepatu orang lain dengan kakimu sendiri. Syukur alhamdulillah jika ukurannya sama. Jika beda?


Bicara tentang ukuran sepatu dan ukuran rezeki, saya dan Mbak Eria memiliki ukuran yang sama. Budget bulanan saya 2-2,5 juta. Punya 2 anak laki-laki yang sudah SD dan SMP pula. Jadi secara kasar, lebih harus mengirit lagi. Pertanyaannya… apakah cukup?

MasyaAllah… hitungan matematika Allah tidak sama dengan kita manusia. Dengan budget harian Rp 20.000,- kadang saya masih bisa menyimpan beberapa. Karena rezeki tak terduga sering datang bagi orang yang percaya.

Kami di Komunitas Ibu Profesional diajarkan konsep “Rezeki itu pasti, kemulyaan yang dicari”

Lebih lengkapnya:
Rezeki itu pasti, kemuliaan yang dicari. Mungkin kita tidak tahu di mana rejeki kita, tapi rejeki akan tahu di mana kita berada. Sang Maha Memberi Rejeki sedang memerintahkannya untuk menuju diri kita. Allah berjanji menjamin rejeki kita, maka melalaikan ketaatan pada-Nya, mengorbankan amanah-Nya, demi mengkhawatirkan apa yang sudah dijaminnya adalah kekeliruan besar.

Karena meyakini hal itu dan berusaha menjadikannya sebagai bagian hidup, saya lebih enjoy menghadapi hidup yang berdinamika.

Ternyata…. Saat mendapatkan pendapatan kurang dari dua juta, misalnya, saya dapat rezeki tak terduga. Dan itu banyak macamnya, tak disangka-sangka. Misalnya, tiba-tiba diberi 2 kotak ikan bandeng presto ukuran terbesar yang bisa dimakan 2 hari tanpa kewajiban endorse. Ketika penghasilan sebulan tiga juta sekian, ada undangan pernikahan, sunatan, teman kesusahan, beli ganti setrika yang rusak, atau lainnya yang mau tidak mau harus mengeluarkan uang. Ini takkan masuk ke logika manusia. 

Kehidupan sehari-hari saya juga penuh warna. Yang terdekat, misalnya: 

Saya tak punya pohon rambutan, tetapi saya ditawari mengunduh 5 pohon rambutan tetangga setiap saat. Jika seminggu saya belum ambil, yang punya mau merepotkan diri mengunduhkan. 

Durian juga puas sekali. Menitip uang Rp 150.000,- dan kami serahkan pada tetangga untuk mengolah sendiri. Subhanallah… sampai bisa dinikmati 2 rombongan teman yang datang, meski satu rombongan 1 buah durian ukuran besar. 

Ketika saya mengundang teman-teman makan di rumah, biasanya ada fee job review yang ditransfer. 

Saat memberi uang selapanan keponakan, kurang dari 2 jam ada order datang. 

Sesimpel itu. Maka, jika gaji kamu masih belum tentu, alangkah cantiknya jika diambil gaji tengah lalu diturunkan selevel agar tidak stress ketika pendapatan kurang segitu, dan tidak lupa diri saat pendapatan melebihi. 

Apakah praktiknya susah?
Saya tidak mengingat susahnya. Mungkin ada. Tetapi cara saya menerimanya memang sangat memudahkan. Yang sulit biasanya saat memulai.

Bagaimana? Berencana jadi puteri impian bagi Pangeran Tampan dan mau memotong kaki agar ukuran sepatunya sama seperti Cinderella?

Kembali ke kamu, Sayang…. It’s all yours. Saya hanya menanggapi bahwa budget segitu memang sesuai dengan ukuran rezeki Mbak Eria, saya, dan teman-teman lainnya. 



Oh iya, hari ini, di jam yang sama, 14 tahun lalu, kami disatukan dalam pernikahan. Subhanallah... ternyata sudah 14 tahun saya menjadi manager keuangan Susindra. Semoga semakin lebih baik praktiknya.

Semoga kami semakin memahami konsep rezeki itu pasti. Aamiin.


10 Komentar

  1. Kadang memang selalu ad aja rezeki dari arah yg tak disangka.
    Baarokallah mbak,sehat dan berkah selalu ya

    BalasHapus
  2. yang penting tetep yakin ya mbak, pasti ada jalan.

    BalasHapus
  3. iya Mba,s ebagai orang islam juga kita harus yakin sama janji Allah

    BalasHapus
  4. Subhanallah tulisannya Mbak.. Rejeki itu pasti, kemuliaan itu yang kita cari. Ada kalanya tulisan status Mbak Susi aku skip, hahahha maaf mbak, tetapi lebih sering lagi harus membaca tulisannya Mbak Susi. Banyak hikmah dan pelajaran tentang parenting yang bisa didapat.

    BalasHapus
  5. Suka duka dalam dinamika ya, Mbak. Saya juga pernah mengalami beras habis, uang tidak ada, eee... ada saja yang memberi, bahkan lengkap dengan nasi, lauk, dan buahhya. Alhamdulillaah...

    Semoga behagia selalu ya, Mbak, mengarungi kehidupan rumah tangga yang penuh berkah.

    BalasHapus
  6. Setuju banget sama tulisan ini. Saya kadang suka miris sama orang orang yang pemikirannya sempit soal rejeki, kalo gak ngelakuin A ato B gimana mau dapet duit? padahal rumus rejeki dari Allah itu kadang gak masuk akal kalo dilihat dari sudut pandang manusia. Intinya bersandar sama Allah aja, jangan yang lain.

    BalasHapus
  7. Masya Allah, awal pekan pagi - pagi baca tulisan Mbak Susi bikin saya maknyess. Adem rasanya. Setuju banget dengan semua yang dibilang Mbak Susi. Bahwa rejeki itu pasti. Janji Allah juga kan " Sesungguhnya jika kamu bersyukur, maka akan Aku tambah nikmatmu "

    BalasHapus
  8. Selamat ulang tahun pernikahan!

    Emang rejeki Allah yg atur dan kita kudu pintar2 atur keuangan. Tergantung juga di mana kita tinggal karena memengaruhi harga barang

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)