Kisah Lajamuna di Karimunjawa: Melabuh Pasca Angin Teduh

Alhamdulillah akhirnya saya bisa menulis kembali. Kali ini tentang kisah seorang pria bernama Lajamuna yang menjadi orang Buton pertama yang menetap di Karimunjawa. Pria ini mengaku melabuh pasca angin teduh selama 2 bulan di tengah lautan. Ia kepincut pada pulau Karimunjawa yang sejak dahulu menjadi surga impian; menawarkan tanah dan lautnya bagi siapapun yang rajin mengolahnya. Kepada kami bertujuh, tim Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa; saya Susindra, Mbak Ulin, Mas Hakim, Bang Doel (Rizki), Yazid, Tris dan Mas Daniel, ia mengenang masa mudanya di Karimunjawa. 

Sebelumnya, saya harus memohon maaf karena cukup lama tidak menulis. Beberapa waktu ini, saya sangat kurang produktif. Puasa perdana saya dalam kondisi hamil muda. Saya benar-benar berharap sedang mengandung anak perempuan karena saya senang bersih-bersih rumah dan berkebun bunga. Kegiatan lainnya jadi terasa kurang menarik.

ekspedisi-sejarah-200-tahun-karimunjawa
Foto: Mas Hakim @harsamura
Selasa, 8 Mei 2018, cuaca Karimunjawa cukup bersahabat. Usai mengalami perjalanan ke Karimunjawa yang luar biasa sehari sebelumnya, dilanjutkan dengan silaturahmi ke beberapa rumah untuk meminta restu, kami memulai perburuan data sejarah kami lebih lambat dari perkiraan. Kami sampai di Kapuran pada pukul 11 siang dan disambut seorang ibu yang ternyata istri Pak Lajamuna. Tak perlu waktu lama, seorang pria yang sudah berumur tersenyum dan menyalami kami. Tak berpikir lama, ia mengiyakan permintaan kami untuk menceritakan masa mudanya, ketika pertama kali datang ke Karimunjawa. Dan ia pun memulai kisahnya….

... tahun 1960-an, sebuah kapal pengangkut kopra bersandar di dermaga kecil pulau Karimunjawa. Mereka ingin beristirahat pasca mengalami angin teduh di luasnya lautan. Jangan bayangkan sebuah kapal mesin. Pada masa itu, kapal-kapal tradisional masih mengandalkan layar untuk melaju. Mereka navigator yang ulung dengan kompas berupa bintang. Namun saat tiada angin, maka mereka hanya bisa pasrah menanti. Seminggu, dua minggu, atau bahkan sebulan atau dua, terkatung-katung di perut samudera. 

Kapal berukuran 60 ton yang baru saja pulang dari Jakarta itu membuang sauh untuk mengisi perbekalan yang menipis. Mungkin juga sambil membeli kopra yang melimpah di sana untuk dijual ke Surabaya. Perdagangan laut adalah mata pencaharian utama mereka, sehingga berada jauh dari Buton Sulawesi Tenggara. Di antara rombongan itu, ada seorang pemuda berusia 19 tahun bernama La Jamuna. 

Lajamuna muda terpikat dengan pulau Karimunjawa yang masih memiliki banyak lahan kosong untuk digarap. Pak Alimin, kepala desa pada masa itu, mengizinkan pendatang mengambil beberapa bahu tanah bagi mereka yang mau membuka hutan. Tak hanya itu, ikan di pulau yang cantik ini sangat melimpah. “Saat berada di sini, ada beberapa orang Buton yang mencari ikan teri. Ikan teri sangat melimpah. 1 perahu payang bisa penuh kurang dari satu jam,” kenangnya dengan mata berkilat bahagia. Ia tak butuh waktu lama untuk memutuskan menetap. Ketika kapal hendak berlayar kembali, ia memantapkan hati untuk melabuhkan hati di Karimunjawa. 


Hari-hari pemuda rajin itu diisi dengan mencari ikan pelagis dan mengeringkannya di pantai. Saat itu sudah ada pembeli tetap yang siap menampung hasil olahan ikannya. Tak disebutkan berapa harga per karung, namun tampaknya sesuai dengan harapannya.

kisah-lajamuna-dari-buton-ke-karimunjawa-ekspedisi-200-tahun-karimunjawa
Foto: Mas Hakim @harsamura
Usai melaut, ia akan menuju bukit Legonlele dan mulai membabat alas. Sejengkal demi sejengkal ia menebang pohon-pohon yang ada di sana. Untuk makan sehari-hari, ia mengaku tak kesulitan. “Orang Buton dulu sangat jarang makan nasi. Orang Buton makan nasi, (membuat) lemas  Ubi sangat melimpah di sini. Itu makanan kami,” katanya dengan raut muka rindu. “Sekarang ubi mahal. Dijual per kilo Rp 5000,-, padahal dahulu banyak sekali sampai dibuang-buang,” imbuhnya. Tampak sekali, ada kerinduan di matanya.

“Kata orang, saya kepincut,” kenangnya. Kepincut pada mudahnya mencari nafkah di Karimunjawa. Tanah yang sangat kaya akan sumber daya alam. Ia bisa mencari ikan sepanjang tahun, sesuai musim. Saat musim tongkol, ia bisa mendapatkan berton-ton ikan tongkol sampai kewalahan mengangkutnya. Saat musim ikan pelagis, perahu terasa kurang besar karena cepat penuh. 

Ia tak selalu di atas laut. Ia juga bercocok tanam di Legonlele, rumah barunya. Ubi yang ditanam melimpah hasilnya. Tak habis meski ada saja binatang nakal yang ikut menikmati hasil berkebunnya. 

Tak butuh waktu lama baginya untuk memantapkan diri mencari pasangan. Seorang gadis Karimunjawa dari suku Jawa menarik hatinya. Apalagi sepetak tanah berukuran ¾ hektar telah diberi sertifikat girik oleh penguasa administratif. Ia pun resmi menjadi orang Buton pertama yang memiliki tanah di Karimunjawa. Berbeda dengan orang Buton lainnya yang hanya datang beberapa bulan lalu kembali pulang. Keberhasilannya menetap di sini membuat beberapa pemuda Buton mulai ikut menetap.

kisah-lajamuna-dari-buton-ke-karimunjawa
Foto: Mas Daniel

Menarik sekali melihat lelaki berusia 50-an mengenang masa 60-an. Tampak sekali, banyak kenangan indah di Legonlele dan Karimunjawa. Pertanyaan demi pertanyaan kami dijawab dengan binar mata yang berganti-ganti. Tentang hijaunya sawah di Legonlele yang digarap, tentang beberapa sawah di daerah lain seperti Nyamplungan dan Cikmas. Tentang ikan yang melimpah ruah. Juga kerinduannya pada Karimunjawa yang masih sangat sepi. Tak ada tamu kota yang datang. Namun ia juga menyimpan sesal ketika harus menjual semua tanah di Legonlele dan pindah ke dukuh Kapuran. Pada akhir tahun 1980-an, hampir seluruh penduduk dukuh Legonlele memutuskan berhenti berharap akan adanya akses jalan. Mereka beramai-ramai menjual semua tanah kepada seorang pengusaha dari Semarang. “Hanya Rp 10.000,- per meter, saat itu,” ujarnya lirih. "Tapi harga segitu sudah cukup mahal saat itu, karena ada yang menjual Rp 3000,- dan Rp 5000,-."

Ketiadaan akses jalan keluar dari Legonlele membuat mereka kesulitan menjual hasil bumi. Saat hendak menjual hasil panen, mereka harus naik turun bukit untuk menuju ke pasar. Anak-anak yang sekolah pun harus berangkat fajar bersama orang-orang dewasa. Sebuah oncor (obor dari bambu) di tangan kiri dan sebuah benda tajam di tangan kanan. Landak, kera, ular edor, dan beberapa binatang menjadi musuh mereka di jalan. 

kisah-lajamuna-dari-buton-ke-karimunjawa
Foto: Dokpri

Pria rajin itu memantapkan hati menetap di Kapuran. Ia mulai menanami area tepi pantai dengan pohon-pohon kelapa. Kepada kami, beberapa warga mengisahkan tentang nyiur melambai yang lahir dari tangan dinginnya. Bagaimanapun, kesederhanaan, kerendahan hati dan kerajinannya bertani serta mencari ikan tetap dikenang. La Jamuna, mungkin hanya satu di antara pria tua di Karimunjawa, namun ia membuktikan bahwa surga itu ada, bagi mereka yang berusaha. 

Itulah sepenggal kisah kami tentang Pak Lajamuna, seorang pendatang dari Buton yang menetap pertama kali di Karimunjawa dan mencintai kepulauan ini dengan sepenuh hati. Semoga ada pelajaran yang bisa Sobat Susindra petik dari kisah ini. Perjalanan Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa berlanjut...

kisah-lajamuna-dari-buton-ke-karimunjawa
Foto: Mas Hakim @harsamura

5 Komentar

  1. Ya Allah menginspirasi sekali, semangat selalu

    BalasHapus
  2. wah menarik ceritanya, aku malah penasaran mau ke karimun jawa

    BalasHapus
  3. Sungguh mulia bapak ini. Bertanam untuk kebaikan orang lain. Hebat dan isnpiratif. Jadi pengin ke Karimunjawa

    BalasHapus
  4. Pengen banget kesini mbak cuma belum cocok waktunya hahahahah kerennn

    Berkunjung juga ya mbak ke http://ceritamakvee.blogspot.com/2018/06/emeron-damage-care-solusi-tepat-untuk.html

    BalasHapus
  5. Kisah pak Lajamuna menginspirasi.
    Pasti ada suatu kebahagiaan tersendiri dalam diri paj Lajamuna dan kerabatnya ... melihat Karimunjawa sekarang jadi lahan yang subur, menambah keindahan pantainya.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)