Mengenang Legon Lele Bersama Pak Mulyanto dan Bu Maria dari Kapuran Karimunjawa

Perjalanan kedua pada tanggal 8 Mei 2018 di Kapuran karimunjawa, mengantarkan kami pada suami istri yang dengan kompak mengenang Legon Lele sebelum menjadi perkampungan yang ditinggalkan. Pak Mulyanto dan Bu Maria, begitu nama mereka. Sebenarnya, kami salah mendatangi narasumber. Kami mencari Pak Mulawarman yang dipanggil Pak Mul. Tampaknya, warga yang menunjukkan rumah Pak Mul mengantar kami pada Pak Mul yang lain. Namun, bagaimanapun, penelitian kami tidak sia-sia karena banyak data yang kami dapatkan. Terutama tentang misteri bedol desa yang terjadi di Legon Lele. Sebuah sentra pertanian utama di Karimunjawa yang tiba-tiba menjadi sebuah perkampungan mati seperti Chernobyl di Uni Soviet. Bukan nuklir yang membuat mereka semua meninggalkan Legon Lele, namun ketiadaan akses jalan yang membuat mereka meninggalkan semua asa di sana. Dan inilah kisah sejarah Karimunjawa yang bisa Sobat Susindra baca sebagai bahan pengayaan pengetahuan sebelum berwisata ke sana.

Foto: Mas Hakim Harsamura
Matahari pukul 13.00 bersinar cukup terik. Dengan baik hati, Bu Maria menawarkan air minum asli dari mata air Legon Lele. “Segar sekali, lebih enak daripada minuman kemasan,” promosinya. Dan dia mengatakan yang sebenarnya. Air dari mata air Legon Lele sangat jernih, manis, dan menyegarkan. Kami menemukan satu keajaiban air tawar di sebuah tepi pantai di Legon Lele dan membuktikan bahwa mukzizat itu nyata. Kisahnya akan saya posting tersendiri nantinya.


Cerita dimulai dari kisah traumatik Bu Maria ketika masih tinggal di Legon Lele. “Saya itu takut, Mbak. Takut sekali di sana. Ada ular dan binatang lainnya. Dulu, saat Bapak masih tinggal di situ, ada seokor ular yang sangat besar menaiki rak piring. Reketek-reketek, semua piring pecah. Aku berdiri tak bergerak di tengah. Ular itu niatnya ingin memakan ayam kami. Namanya ular jinur,” kenangnya dengan jerih. “Belum lagi ular edor. Ukurannya kecil, Mbak, tapi sangat-sangat beracun. Dulu, saat hamil tua anak pertama, ujung jempol kakiku digigit ular edor. Rasanya antara hidup dan mati. Sakitnya bukan main dan takut kalau mempengaruhi janin. Obat (anti racun) di puskesmas sedang habis. Untung mertua Lajamuna bisa mengobati dengan obat tradisional,” imbuhnya.

Bisa dipahami mengapa Bu Maria begitu jerih jika mengingat masa tinggal di Legon Lele. Beberapa kenangan buruk ketika diserang binatang liar mengendap cukup lama di ingatannya. Ular, landak, kera, menjangan, dan binatang liar lainnya sering menyerang ke rumah-rumah warga. “Menjangan makan daun, isi ubi dimakan landak, buah dimakan kera, mencawak memakan telur-telur ayam, ketika tanaman kemempeng (hampir siap panen) wereng akan datang menghabiskan. Dan yang membuat paling takut adalah nyawa bisa sewaktu-waktu diancam oleh ular. Soro (sengsara) sekali di sana” katanya.


Kami mendengarkan kisah mereka tanpa banyak menyela. Kami membiarkan mereka bercerita secara mengalir, karena bagaimanapun, setiap data bisa jadi sangat berharga. Kemudian, kisah pun berganti pada masa mereka berdua akan menikah.

Pak Mulyanto, pria itu datang ke Karimunjawa pada tahun 1971. Ia langsung mendapat pekerjaan sebagai penggarap sawah milik Pak Maspan di Legon Lele. Tak hanya itu, setahun kemudian, ia pun berhasil mempersunting putri sulung juragannya yang baru berusia 12 tahun. 

Putri yang bernama Maria itu pastilah sangat cantik. Ia mengaku sedang bermain pasaran ketika ibunya memanggilnya pulang. Dukun nganten mendandaninya, dan mengantarkannya ke pelaminan. Ia mengaku tidak memahami apa maksud semua seremonial yang dilalui. Samar-samar ia mengingat pelaminannya berhias janur dan pisang matang yang masih utuh bersama pohonnya. 

Tampaknya, pada tahun itu, adat pernikahan Jawa lama yang dipakai. Sekadar info saja, ibu saya dinikahkan pada usia 9 tahun dan sangat mencintai suaminya. Dan sepemahaman saya, pada zaman dahulu, pernikahan semacam ini cukup lazim terjadi. Sebenarnya itu bagian dari adat zaman dulu. Orangtua memilih menikahkan putrinya sebelum bisa menentukan ke mana hatinya berlabuh. Karena jika dinikahkan setelah anak perempuan sudah merasakan jatuh cinta pada pria pilihannya, maka, akan sulit diatur pernikahannya. Ada sebuah pepatah Banten mengatakan, Yen ati wes mateng, ora keno de adoni maning. Setidaknya, itulah salah satu alasan yang saya temukan saat membaca buku “Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian” karya Cora Vreede-De Stuers. Seorang pelopor penulis sejarah modern pergerakan perempuan di Indonesia.


Setelah menikah, keduanya menetap di Legon Lele. Pak Mulyanto bercocok tanam dan mbalok di hutan. Saat itu, kayu masih bebas ditebang dan dijual ke Jawa. Kayu-kayu solid seperti kayu sumedang, kayu jambon, jati, dan lain-lain. Setelah kayu dilarang tebang, mereka bekerja memecahkan batu. 

Dahulu Legon Lele sangat ramai. Banyak penduduk yang tinggal di sana. Penduduk bertani di lahan yang sangat subur. Para penduduk memiliki banyak sapi. Bahkan tambak ikan pun ada. Hutan masih bebas ditebang pepohonannya dan punya pengepul yang siap menampung. Air tawar melimpah dan pantai yang sangat indah menjadi bonus. Menarik sekali bahwa Legon Lele bisa membuat pemuda-pemuda seperti Mulyanto muda (dan narasumber lain yang kami wawancarai), datang dari Bandungharjo menuju Legon Lele Karimunjawa untuk mencari nafkah. 

Kisah mundur ke belakang, ketika Bu Maria masih tinggal di Tegalsambi Jepara. Ia sekolah di sana sebelum diajak orangtuanya hijrah ke Karimunjawa. Masa kecilnya bahagia meski hidup susah. Agar semua anak bisa sekolah, ia harus berbagi sabak dan jarik dengan adiknya. Semua dibagi dua oleh nenek. Saat itu, pelajar masih memakai jarik dan kebaya. Alat tulis sederhana berupa sabak. Kemudian tiba-tiba diajak menetap di Karimunjawa. 

Kisah demi kisah dituturkan mereka berdua. Cukup random namun ada banyak sejarah tahun 70-80 yang dapat kami gali dan simpan untuk menjadi cerita. Terutama tentang kenangan yang mereka simpan. Sebelum pamit, kami mengkonfirmasi ulang, mengapa Legon Lele, salah satu lumbung padi di Karimunjawa itu menjadi daerah mati yang ditinggalkan penduduknya? Dan sekali lagi mereka mengkonfirmasi bahwa kerasnya hidup di Legon Lele, serangan binatang-binatang pengganggu dan ketiadaan akses jalan menuju ke sana membuat para warga meninggalkannya. Pada tahun 1985, Pak Cuming dari PT R membelinya. “Kami senang tinggal di Kapuran karena semua rumah dekat,” katanya menegaskan. 

Namun, kami tetap akan mengejar jawaban lain, karena hidup susah di Legon Lele adalah sebuah harga yang harus dibayar saat membuka lahan di sana. Bagaimanapun, jerih payahnya lebih payah orangtua yang membabat alasnya agar bisa dijadikan perkampungan tinggal. Kisah tentang Legon Lele juga pernah disampaikan oleh Pak Lajamuna di posting sebelumnya. Seperti di daerah-daerah lain di kepulauan Karimunjawa, yang asalnya adalah sebuah pulau hutan tropis yang terbuka bagi siapa saja yang mau mengolahnya.



Ini sepenggal kisah yang mereka bagikan pada kami. Dan sedikit mengurangi tanda tanya kami. Kami tetap akan mengejar kembali jawaban dari pertanyaan serupa. Karena tak semestinya Legon Lele ditinggalkan seperti itu. Yazid dan Mas Srianto, sore itu menuju ke sana untuk melihat langsung kondisinya saat ini. Dan memang benar, hanya ada rumah-rumah rusak yang ditinggalkan. Dan ada 3 buah rumah yang tampaknya masih berpenghuni. Tak sampai di situ, mereka juga menuju sumber air Legon Lele yang menjadi penyuplai utama semua air di Karimujawa. "Permata," desah saya lirih. "Permata yang ditinggalkan dan harus dikenang."

Masih ada satu narasumber mengenai Misteri Legon Lele dan satu video penelusuran tim kami ke lokasi, serta penemuan mata air di pantai yang membuat kami berenam sangat takjub. Jangan lewatkan kisah kami. Mari kita bersama mengenang tentang Legon Lele, sebuah zamrud di Karimunjawa yang karena collective ignorance, menjadi terlupakan dan ditinggalkan. 

11 Komentar

  1. Membaca tentang ular itu kok saya jadi merinding ya, Mbak. Betapa menakutkannya waktu itu. :(

    BalasHapus
  2. Histori mundur kebelakang beberapa langkah, merupkan cara ug tepat untuk melngkah ke depan.

    Memangnya waktu di gigit sama ular kecil (berbisa) itu obat tradisonalnya apa mbak?

    BalasHapus
  3. Iya sih rahasia pasangan suami istri jaman dulu awet awet cintanya krn mereka dinikahkan sebelum jatuh cinta pada orang lain. Jadi pasangannya itulah cinta pertama mereka

    BalasHapus
  4. Nama daerahnya unik yaa, mba..
    Legon Lele.

    Saya suka dengan kisah yang melatarbelakanginya.

    BalasHapus
  5. Legon Lele kenapa ga digarap ya? Kayaknya kalau ada orang luar yang invest bisa jadi bagus tuh. Apalagi ada sumber mata air di sana

    BalasHapus
  6. Ada haru bacanya
    Kebayang seorang ibu hamil digigit ular dan hrs waspada dgn bintang liar.luar biasa ya kisahnya

    BalasHapus
  7. Luar biasa perjalanannya mbak. Cerutanya memang luar biasa. Ku dulu waktu sekolah sering dengar istilah bedol desa zaman Pak Harto.

    Hebatnya lagi menikah di usia 12 tahun dan ngga paham dengan ceremonynya. Aku ngebayangin nya...... Ahhhh sudahlah hehehe salam buat Pak Mul dan Bu Maria :)

    BalasHapus
  8. Tiap pindah dan buka daerah baru memang banyak banget tantangannya. Hewan2 liarnya itu pe er banget buat bersahabat sama mereka

    BalasHapus
  9. Sebelumnya kan banyak penduduknya ya Mbak di Legon Lele? Dengan segala gangguan binatang di sana dll? Tapi kenapa kok tiba-tiba ditinggalkan gitu ya? Apa ada bencana banjir atau tanah longsor gitu sehingga jadi terisolasi? Hehe.. masih kurang puas sama keterangan narasumber :D

    BalasHapus
  10. Aku...terharu sekali membacanya...aduh lah...

    BalasHapus
  11. Ceritanya ada mitos-mitosnya gitu, ya...

    Tentang yang dinikahkan di umur 9 tahun, jaman dulu memang begitu ya. Nenek saya juga langsung menikah begitu masuk akhil baligh. Makanya bisa punya sampai 14 anak =D

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)