Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa, 7 – 16 Mei 2018

Pagi yang sibuk bagi seorang ibu rumah tangga. Pasca persiapan untuk keluarga, saya bergegas ke dermaga Kartini Jepara, menyusul teman-teman tim Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa. Kami berjanji berkumpul pukul 6 pagi. Kami akan menyusuri jalan-jalan di sana untuk menggali cerita, menerjemahkan makna dan menguarkan rasa memiliki Karimunjawa kembali. Mas Daniel, Leader Project kami membuat statement: “Merekam yang belum direkam, mencatat yang belum dicatat, mengenal masa lalu guna kelanggengan masa depan.” Ada keprihatinan besar yang dirasakannya, melihat kehidupan di Karimunjawa yang dengan cepat berubah. Sebagai guru bahasa Belanda yang telah menetap di sana hampir 2 tahun, ia merasa apa yang tidak dirasakan oleh penduduk asli. Keprihatinan yang sama, yang juga dirasakan generasi seusia kami. Atas dasar itu pulalah, Kang Srianto mengajak teman-teman untuk membuat ekspedisi ini.

ekspedisi-200-tahun-karimunjawa
Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa

tim-ekspedisi-sejarah-karimunjawa

Basic ilmu Mas Daniel memang sastra Belanda, namun ia lebih mengkhususkan sebagai sejarawan. Ia sering membagi pengetahuan sajarahnya di linimasa Facebook. Ketika mengulas tentang sejarah Karimunjawa, beberapa warga sangat tertarik dan memintanya menyiapkan sebuah tim ekspedisi untuk menggali sejarah Karimunjawa. Ada banyak tradisi yang hilang di sana. Akhirnya, satu tim siap berangkat pada tanggal 7 – 16 Mei 2018. Ekspedisi kali ini diberi nama Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa.

200 tahun, dipilih sebagai angka, karena pada tahun 1818, Carel Rudolph van Michalofski pertama kami menginjakkan kaki di Karimunjawa sebagai Asisten-Residen. Saat itu, Karimunjawa masih disebut Crimon Java. Michalofski harus mengambil alih kepulauan yang sejak dahulu kala dikenal sebagai sarang bajak laut. Bersama bala tentara dan 1100 orang hukuman dari pulau Jawa, mereka berhasil menghapus sejarah bajak laut di sana, dan membangunnya menjadi “rumah tinggal”. Sejarah ini bisa ditemukan dalam buku 'Het Hoge Huis aan deJavazee: de geschiedenis van een zeeroverseiland' (Rumah Tinggi di Laut Jawa: Sejarah Sebuah Pulau Bajak Laut) karya Joop van den Berg yang diterbitkan pada tahun 1991. 

Mencari makna di balik semua kisah yang terungkan

Mengenai sejarah bajak laut ini, saya menemukan kisah unik tentang bajak laut dari buku “Orang Laut, Bajak Laut, dan Raja Laut” karya Adrian B. Lapian yang menjelaskan bahwa bajak laut di masa pendudukan Belanda adalah salah satu upaya gerilya melawan penjajah.  Mereka yang disebut bajak laut oleh pemerintah Belanda adalah sekelompok gerilyawan bahari yang melawan ketidakadilan politik kolonial. Bajak laut juga diindikasikan sebagai bagian dari sebuah perang agama melawan orang kafir (non muslim a.k.a non pribumi - mengenai sebutan ini, akan saya buatkan sendiri karena saya memakai istilah yang lazim dipakai di buku sejarah) serta masyarakat umum menganggap mereka tidak hanya dilihat sebagai penjahat semata, tetapi mereka adalah kelompok social bandit seperti Robin Hood yang mendapat dukungan dari rakyat. Bandit-bandit ini berusaha keras memprotes dan menolak kekuasaan yang lalim, bahkan cara kekerasan mereka tempuh untuk menegakkan keadilan yang setegak-tegaknya.

Lepas dari siapa yang benar, karena sejarah memang tergantung pada siapa penulisnya, namun kita tak bisa memungkiri bahwa sebagian besar sejarah Indonesia masih Netherland-sentris. Keadaan ini dapat dipahami, karena kebiasaan mereka mencatat semua kejadian, bahkan yang kita anggap kecil dan sepele. Sebagian besar sejarah berasal dari Barat. Berbeda dengan nenek moyang kita yang lebih sering menggunakan tradisi lisan, diwariskan secara turun-temurun, dan beberapa bahkan dalam bentuk sanepo yang perlu perenungan untuk menggali maknanya. Entah sejak kapan ada istilah sejarah Netherland-sentris dan Indonesia-sentris. Saya sendiri berada di antara keduanya, karena bacaan sejarah masih banyak yang berasal dari luar negeri. Tapi jangan salah paham, meski dari sejarah Barat, namun obyektivitas mereka juga diakui para sejarawan Indonesia yang terkualifikasi. Yang jelas, Indonesia masih membutuhkan banyak penulis sejarah otentik dan terstandar. Kebutuhan ini telah mulai difasilitasi pemerintah melalui Bimbingan Teknologi Penulisan Sejarah bagi pemerhati sejarah yang tidak berasal dari bidang studi sejarah. Mungkin kamu salah satu yang berminat?

Tim Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa Perdana
Kembali ke Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa. Tanggal 7 Mei lalu, kami berangkat bertujuh. Saya, Mbak Ulin, Mas Daniel, Mas Doel (Rizki), Mas Hakim, Yazid dan Tries. Mas Apeep Qimo dan Mas Odi menyusul tanggal 12, sedangkan Mas Imam, Mas Rumail dan Mas Eko memantau dari grup Koordinasi. Ah ya, ada Kang Srianto yang menjadi tuan rumah utama. 

Kami bertujuh berkumpul di sebuah warung di sekitar Dermaga. Kalau tak salah Warung Pak Bambang. Setelah semua berkumpul, kami semua memasuki Kapal Siginjai dan langsung menuju ke lantai dua yang terbuka. Wuaaa… bahagia melihat Jepara dari atas Kapal Siginjai. Apalagi ini ekspedisi perdana saya sebagai (calon) sejarawan. Pengalaman menulis sejarah saya masih sebatas tulisan di blog dan 2 buku sejarah yang akan di-launching tahun ini. Bayangkan campuran perasaan saya. Antara bangga dan tak percaya. Daan… psst… saya sedang hamil muda. Hihihi.

Kuat? Kuat dong. Saya selalu memiliki kehamilan sehat dan aktif. Dan yang pasti, saya tahu batas diri. Yang lain boleh begadang semalaman, saya selalu pamit tidur jam 9-10 malam. Blusukan ke desa-desa atau berperahu ke pulau-pulau yang masih terpencil pun ayo! Selain perbedaan jam tidur, tak ada yang beda dengan aktivitas teman-teman lainnya. Yang menjadi pencapaian tersendiri adalah, tak ada lagi kopi dan minimnya kelekatan saya dengan gawai. Latihan disiplin dengan lecutan semangat yang unik, karena salah satu misi kehamilan saya adalah memperbaiki kualitas hidup dengan mengurangi keduanya.

Bahagia pasca mendarat di pulau Genting yang masih terisolasi.
Kehidupan ala 80-an masih kental di sini

Bahahahaha…. Cara bercerita saya masih melantur saja. Poin-poin pribadi dimasukkan ke tulisan, sih…. Which is, itulah keasyikan ngeblog. Yang jelas, Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa a.k.a Crimon Java ini memberi kami pelajaran hidup yang sangat kaya. Selama menggali ingatan para tetua di sini, kami mendengar kisah mereka tentang Karimunjawa mulai tahun 1949. Juga, apa alasan mengapa mereka datang, harapan apa yang mereka bawa, apa harapan mereka akan masa depan tanah tinggalnya, dan masih banyak lagi. Mereka menyebut Karimunjawa sebagai tanah impian yang gemah ripah loh jinawi. Lebih tepatnya, iwak gari nyiduk, lemah gari ngaduk. MasyaAllah, Karmunjawa memang Paradijs op Java. Saya sering membayangkan punya mesin waktu, agar bisa kembali ke masa itu. Ketika nelayan bisa mengumpulkan ikan seperahu kecil dalam 1-2 jam. Subhanallah... Nikmat luar biasa dari Allah untuk surga dunia ini.

Sobat Susindra penasaran dengan kisah perjalanan Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa kami? Apa yang kami lakukan pada tanggal 7 - 16 Mei lalu dan bagaimana bonding tim tercipta secara spontanitas. Selama di perjalanan, saya membayangkan membuat novel ala perjalanan kami, karena, komposisi karakter kami sangat pas untuk didramatisir di cerita fiksi, bahkan di filmkan. Hahahaha... 

Sering-sering kembali ke sini ya. InsyaAllah akan saya update terus kisah kami selama melakukan Ekspedisi 200 Tahun Karimunjawa

Update lain juga bisa didapatkan di Instagram Crimon Expedition kami.



2 Komentar

  1. Duduk manis menunggu kelanjutan ceritanya.
    Insyaallah nanti bakal mampir lagi ke sini

    BalasHapus
  2. Mbak aku mau lah kalau ada acara beginian lagi ikutan. Selalu senang dengan sejarah nih

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)