Suasana mendadak gaduh ketika Lara menyebutkan namanya untuk menjawab pertanyaanku. Sebuah pertanyaan sederhana yang juga kuajukan pada seluruh murid SD yang kuajar hari ini sebagai permulaanku menjadi guru pengganti mereka. Bu Nining ijin seminar di kota.
“Laraningati, Bu Guru.” Jawab Lara kalem, tidak menggubris sorakan teman-temannya.
Ada sesuatu yang berdesir di dadaku. Nama apa ini? Orang tua mana yang tega memberi nama semacam ini?
****************************
Aku berdiri termangu di depan sebuah rumah sederhana yang tertutup rapat. Setengah berharap menemukan Lara bermain boneka di beranda rumah. Sudah tiga hari Lara membolos sekolahnya. Murid terpandaiku, yang selalu mampu menjawab pertanyaanku, selalu rajin mengerjakan soal di papan tulisku, tiba-tiba absen begitu lama. Beragam pertanyaan memenuhi kepalaku, membuatku agak lama tercenung.
“Mencari siapa, Bu?” Seorang simbah membuyarkan lamunanku.
“Maaf, Mbah. Saya ingin bertemu dengan Lara. Apakah benar rumahnya di sini?”
“Benar, Bu. Ibu siapa?”
“Saya guru Lara, Mbah.”
“Oh, mari masuk. Silahkan. Maaf, rumah kami sangat jelek dan kotor.”
“Terima kasih, Mbah. Apakah Lara sakit?” Tanyaku sambil mengikuti simbah Lara memasuki ruang tamu sederhana, hanya dihias sebuah meja kursi dari besi dan rotan sintetis yang telah catnya telah mengelupas. Anyaman rotannya pun telah banyak yang terbuka. Kuamati dinding dari bata yang tidak dilepoh, tidak kutemukan sebuah potret atau poster artis idola. Sungguh tipikal rumah di desa yang sementara kutinggali selama kuliah kerja nyata ini.
“Buat apa ibu mencari Lara? Dia sudah pergi. PERGI DIBAWA BAPAKNYA!!”
Sebuah suara datang tergesa menyusulku ke ruang tamu. Mukanya merah padam menahan emosi di dada. Matanya merah bersimbah air mata. Secoret hitam arang dan garis air menghiasi bawah mata.
“Anak sial itu akhirnya pergi. AKHIRNYA! Hah!" Katanya sambil sedikit mengangkat rok bawahnya, memperlihatkan lututnya yang kotor oleh grajen. "Dikira aku sedih kehilangan DIA. Ndak, Bu. Sudah ikhlas saya. Biar si gundhik itu yang mengurus laki-laki tak tahu diri itu!” Terengah-engah wanita muda itu menumpahkan semua kemarahan hatinya. Perlahan warna merah dimukanya menggelap dan sambil berurai air mata dia melanjutkan,
“Sakit hati saya, Bu. Sakiiit… 9 tahun saya harus mengasuh Lara, mengingat wajah bapak dan gundiknya. Memberi makan dia, menyekolahkannya, sementara mereka asyik masyuk di Jakarta. Lupa dengan anak yang mereka tinggalkan pada saya. Lupa dengan anak haramnya!”
Aku sungguh bingung. Kupandang wajah simbah Lara yang telah berubah menjadi agak gelap, mengeras. Kupandang wanita muda yang tengah marah ini – yang setengah kupahami sebagai ibu tiri Lara- untuk mencari tahu, apa yang terjadi.
“Maafkan menantu saya, bu Guru.” Kata simbah sambil meraih tanganku. “Min, sana buatkan minum. Bu Guru ndak tahu apa-apa kok langsung disemprot caci maki.”
Dengan berat hati Min masuk kembali. Segera kudengar suara gelas beradu. Hmm… rupanya emosinya masih belum turun. Kuharap tidak ada suara gelas pecah.
Sambil menunggu minuman keluar, simbah menceritakan sedikit kisah hidup Lara. Tentang bapaknya yang pamit bekerja sebagai buruh di Jakarta dan suatu hari tiba-tiba pulang ke desa membawa seorang bayi perempuan yang diakui sebagai anaknya bersama seorang PSK. Si Ibu tidak mau mengurus bayi yang dilahirkannya, dan si Bapak harus kembali bekerja di Jakarta. Meninggalkan Lara bersama istri sahnya yang shock, tidak terima dan terhina menerima “noda” yang ditinggalkan suaminya. Membiarkan ibunya mengendalikan kemarahan istrinya, memastikan anak yang terlanjur ada itu tetap hidup sebelum diambilnya kembali.
Tak sampai 5 menit, segelas teh mengepul di depanku. Min yang semula penuh amarah telah mulai melunak. Sambil menangis dia menceritakan empat hari yang lalu suaminya datang untuk menjemput Lara.
“Sebenarnya Lara berat hati meninggalkan desanya. Dia menangis semalaman dan menyatakan ingin membantu simbah dan saya. Tapi suami saya memaksa membawanya, Bu.”
“Lara itu anak baik, Min. Rajin. Siapa yang membantumu berjualan setiap hari? Meski selalu kamu caci, sering kamu hajar, tapi dia tetap membantumu.” Kecam simbah. “Sekarang, siapa yang membantumu berjualan? Kamu sendiri yang repot, kan? Makanya legowo, Min. Pasrah karo seng gawe urip. Allah subhanallohu wa ta’ala. Aku sudah tua, Min. Ndak bisa nyumbang tenaga. Ojo ngumbar emosi. Sadar, nduk.”
Min tertunduk. Meski masih kulihat penolakan di matanya, tak ayal nasehat simbah ada benarnya. Setidaknya menurutku. Aku mengerti sekali perasaan yang ada di hati Min. Sakit hati, marah, terhina, sedih, iri, cemburu. semua perasaan yang juga dirasakan ibuku karena harus mengasuhku, anak tirinya.
Sebagai keluarga poligami, aku mengerti benar seperti apa berada di posisi Min. Bahkan aku tahu bagaimana perasaan simbah, Min dan Lara. 3 wanita yang terluka karena seorang pria yang salah langkah. Setengah berkhayal, aku membayangkan anak simbah, suami Min, bapak Lara, yang manapun aku menyebut, tentu saja diliputi penyesalan yang dalam sehingga tidak pernah kembali ke desa. Hanya uangnya yang terus datang meski jumlahnya tak seberapa.
Banyak sekali hikmah yang kuambil dari cermin ini, yaitu:
- Setia pada pasangan hidup.
- Menjadi istri yang terbaik bagi suami.
- Meski upah lebih sedikit, lebih baik tetap bersama keluarga daripada bekerja di luar kota.
- Bertanggung jawab pada apapun pilihan yang telah saya ambil.
Ada kisah di balik sebuah cerita. Semoga cerita mini ini tidak sepanjang cerpen karena pembuatannya agak tergesa dan tidak memiliki editor. :)
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Berhikmah di BlogCamp.
bagus mbak, kupikir beneran semoga menang ya..
ReplyDeleteTerima kasih mbak Nelly. Amin.. amin .. amin.
ReplyDeletemangan ora mangan ngumpul ya mbak: )
ReplyDeleteAnak adalah Titipan Tuhan yang tidak boleh disia-siakan. Atas stempel komandang Blogcamp JURI datang menilai. Terima kasih atas cerita kehidupan yang penuh hikmah. Salam Hangat
ReplyDeletekujungan pertama salam kenal ya..
ReplyDeletesukses ma kontesnya pakdhe ya..
inikah derita poligami hahay? mungkin carnya yang salah y..sukses selalu ^^
ReplyDeleteHampir saja air mata ini menetes membaca kisah ini. Kisah yang menyentuh hati. Kehiduan memang penuh dinamika. Kemiskinan, godaan dan rayuan, keteguhan hati, kepolosan anak, kegetiran hidup, kesederhanaan dan kesetiaan. Seringkali anak menjadi korban terhadap ketidakharmonisan orang tuanya. Hidup adalah pilihan. Kita harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah kita pilih.
ReplyDeletewah mba susi akhirnya ikutan juga, good luck ya mba... :)
ReplyDeleteMbak Lidya: Iya, mbak. Makan ngga makan asal kumpul. Nasi sambel berasa nikmat sekali.
ReplyDeleteIbu Juri: Suatu kehormatan dikunjungi. Terima kasih diperkenankan ikut menyumbang tulisan.
Nchie: Salam kenal. Terima kasih do'anya.
Kang Ian: bagaimana pun selalu ada luka dalam poligami, meski sang pria sukses berlaku adil.
ReplyDeleteMas herdoni: Hidup penuh dinamika. Pilihan kita yang menentukan siapa kita. Terima kasih nasehatnya.
Bunda Shisil: Salam kenal, mbak. Terima kasih do'anya. Semoga dikabulkan Allah. Ngarep juga sih hadiahnya. Hehe.
Mohon maaf sebelumnya, cerita ini hanya fiksi, diilhami teman SMP Susi yang bernama Ngeres Ningati karena ibunya meninggal ketika melahirkan dia dan teman kuliah bernama Usrek Tani. Nama-nama yang diberikan sebagai pengingat peristiwa.
ReplyDeletemoga sukses buat kontesnya yach....
ReplyDeletejadi pengen nikah nih....penuh imajinasi.. terimakasih... bales kunjungan ya neng
ReplyDeleteSaya pikir akan bercerita tentang Lara, ternyata tentang keluarganya. Mantep!
ReplyDeleteselamat mbak susi masuk 2 Besar dalam K.U.C.B
ReplyDeleteSemangat terus berbagi hikmah bagi semua orang
salam kenal dan salam hangat
Selamat ya buat kemenangannya...
ReplyDeleteBagus sekali mbak...Selamat atas kemenangannya yah..=)
ReplyDeleteberkunjung mba^^
ReplyDeletecerita nya emang luar biasa
sangat mengalir :)
selamat atas kemenangannya ya..
ReplyDeletekalau mau gabungan di http://www.facebook.com/home.php?sk=group_120411931351779&ap=1