Melahirkan Kala Suami Dinas ke Luar Kota

Ada kisah seru pada persalinan bayi saya tanggal 18 Desember lalu. Saya melahirkan tanpa ditunggui suami. Rasanya nano-nano sekali, karena tingkat ketergantungan saya pada suami cukup tinggi. Saya sempat drop secara mental, meskipun pendamping persalinan sudah saya pilih sosok terbaik, yaitu saudari kembar saya. Ini kisahnya.



Tahun ini saya punya sebuah proyek penelitian sejarah yang dibiayai oleh pemerintah. Sebagaimana lazimnya, akhir tahun harus rampung seluruh penelitian dan pelaporannya. Qodarullah, saya mendapat kejutan bahagia, 3 minggu setelah penandatanganan perjanjian. Saya sudah hamil satu bulan setengah ketika itu. Penelitian dan uji kelayakan draft buku berakhir pada tanggal 19 November 2018, di hari ulang tahun si sulung. Alhamdulillah. Tinggal penyempurnaan buku dan pelaporan. Akan tetapi, ternyata tak semudah itu. 

Sejak awal Desember, saya mengalami kontraksi palsu secara berkala. Mulai dari 2 jam berturut-turut sampai akhirnya menjadi semalaman pada minggu pertama. Dan terus berlanjut sampai tanggal 15 Desember. Cirinya, kontraksi hanya terjadi pada malam hari. Ketika matahari terbit, semua nyeri dan sakit itu berakhir, dan saya beraktivitas normal. Pada tanggal 16 Desember, malam hari, saya mengeluarkan darah dan lendir sejak siang. Kontraksi juga semakin sering pada siang hari itu, sehingga malamnya kami segera ke UGD. Aduh... lebay-nya saya. Ternyata baru pembukaan 1,5. Masih butuh waktu lama untuk mencapai 10. Kami disarankan pulang.

Saya sudah deg-degan saja, mungkinkah saya melahirkan saat suami berangkat ke Jakarta? Meskipun sudah melakukan persiapan kecil, tak urung saya mengalami kecemasan berlebihan. Saya cukup tergantung pada suami, dan keberadaannya bisa jadi penyemangat tersendiri. Meskipun begitu, saya dan suami tetap mempersiapkan yang terburuk, seandainya saya melahirkan pada rentang tanggal 17 – 20 Desember, ketika suami tidak di rumah. Dan inilah persiapan kami:
  1. Pilih satu pendamping persalinan dari keluarga yang memiliki hak mewakili suami dalam melakukan keputusan mendesak. Pilihannya, adalah: bapak, ibu, anak, atau saudara terdekat yang sangat mengenal diri kita sehingga bisa mengambil keputusan mewakili kita. Seorang saudara/saudari yang sering menjadi teman bicara kita, meskipun mungkin tinggal berjauhan. Semua pilihan di atas memiliki syarat sudah dewasa. Saya tidak bertanya apakah minimal 17 tahun atau 21 tahun, karena opsi anak tertutup bagi saya. 
  2. Beritahu anak tentang skenario kedua orangtuanya mungkin tidak ada di rumah pada tanggal 17 – 20 Desember dan siapa yang akan menjaga mereka.
  3. Pastikan bahan makanan di dalam kulkas cukup untuk beberapa hari agar tidak merepotkan anak/keluarga yang menunggui.
  4. Beritahu tetangga tentang kemungkinan ini dan minta mereka turut mengawasi anak dan keluarga kita. 
  5. Belajar fokus pada apa yang sedang dihadapi dan pasrahkan semuanya pada Allah. Yakin saja bahwa semua akan baik.


Setidaknya, itulah persiapan yang saya lakukan. Dan ternyata, kekhawatiran saya terjadi. Pada tanggal 17 Desember malam, suami berangkat ke Semarang. Pesawatnya berangkat tanggal 18 Desember pagi. Malam itu, saya merasakan kontraksi yang lebih menyakitkan. Rasanya njarem... bahasa Indonesianya mungkin sakit yang dirasakan pada bagian yang sebelumnya sudah sakit selama beberapa hari sampai bengkak. Duh... penjelasan saya ini rasanya agak sulit dipahami, ya. Intinya sih, memang saya sudah merasakan kontraksi sejak tanggal 1 Desember. Jadi seperti luka di atas luka. Benar-benar sakit sekali. Ataukah memang seperti itu rasanya akan melahirkan? Jujur saya sudah lupa. Selisih putra kedua dan ketiga ini adalah 10,5 tahun. Malam itu, saya menangis sendirian di belakang. Berderai-derai airmata, berdoa dan bertobat. Pada pukul 2.30 dini hari, selisih kontraksi kurang dari 3 menit. Baru beberapa langkah sudah kontraksi lagi... sampai akhirnya melahirkan pada jam 9.10 pagi.



Kembali ke persiapan melahirkan saat suami sedang dinas ke luar kota, saya memilih saudari kembar saya sebagai pendamping persalinan. Meskipun tempat tinggal kami berjauhan, akan tetapi kami sering bertukar cerita dan mengenal satu sama lain dengan sangat baik. Pilihan saya sangat tepat. Ketika mental saya drop sehingga ada masa saya menangis atau meratap, ia setia menemani saya. Sejak tanggal 12, mental saya memang sudah mulai drop. Saya berhasil menolak tawaran SC 2x karena lebih nyaman persalinan normal. Bahkan menyetujui jika terpaksa tak jua melahirkan, saya akan memilih opsi induksi. Saya sudah kelelahan, dan janin sudah memasuki usia 42 minggu. Bahaya tampak nyata bagi bayi yang saya kandung. Mengapa tidak SC saja, seperti saran dokter obgyn tanggal 3 dan 10 Desember? Karena saya memiliki jenis darah yang sulit beku dan penyembuhan luka saya lebih lambat. Risikonya lebih besar bagi saya. 

Nah... inilah curhat kecil saya yang melahirkan tanpa didampingi suami dan persiapan yang saya lakukan. Terima kasih pada Ida, saudariku yang setia menunggu dan membesarkan hatiku saat rapuh karena panik akan melahirkan. Tak terbayang nekatku jika tanpamu.


3 Komentar

  1. Mbak Susii... Enggak lebay kok. Aku juga bisa merasakan itu. Suami memang penguat saat hamil dan persalinan sehingga dalam kondisi darurat dia tak ada di samping ya memang berat. Tapi Alhamdulillah mba Susi berhasil melewati walau penuh perjuangan.

    BalasHapus
  2. Huhuhu terharu bacanya. Salut banget mbak kalau saya sudah mewek tuh kalau nggak ditungguin suami. Pengalaman saya hamil jadi manja dan rewel banget. Selamat ya mbak atas kelahiran anaknya, semoga selalu sehat debay dan ibunya :)

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)