Tradisi Lisan Untuk Melindungi Hutan Dari Kepunahan

Pohon jati tua dengan diameter yang sulit dipercaya, di Kudus, terjaga kelestariannya melalui folklor atau tradisi lisan masyarakat setempat. Tradisi lisan untuk menjaga dan melindungi flora Indonesia dengan sangat baik dari kemungkinan kepunahan. Ya, sulit dipercaya, bahwa di dekat sini ada hutan jati dengan diameter selebar rengkuhan 3-4 orang dan masih terjaga kelestariannya.

Hutan Masin atau Nawangsih: oase dan cagar budaya di Kudus


Ceritanya, suatu Minggu yang lama berselang, saya dan teman-teman pemerhati sejarah seni ukir melakukan perjalanan ke Hutan Masin di Kota Kudus. Ada makam Dewi Nawangsih dan Den Bagus Rinangku di dalam hutan Jati yang tampak sangat memukau bagi mata orang Jepara seperti saya. Lamanya jangan tanya, karena saat itu Giandra masih di dalam perut. Hehehe.


Orang Jepara yang pernah merasakan nikmatnya industri mebel akan memandang hutan jati Masin dengan bayangan kertas merah yang menari-nari. Memang agak lebay sih, ya, tapi itulah yang saya bayangkan. Kami ini pemakan kayu jati. Entah berapa pohon jati – dari perkebunan – yang ditebang demi menuruti permintaan furnicraft dari seluruh dunia. 

Saya pernah khusus jalan-jalan ke hutan jati milik pemerintah di daerah Keling – masih Jepara - dan rasanya luar biasa, sensasi berada di antara pepohonan yang akan menjadi sumber hidup bagi mayoritas warga Jepara. Kali ini, saya melihat pohon jati dengan diameter yang membutuhkan rengkuhan tangan beberapa orang untuk setiap pohonnya. Bagaimana saya tidak langsung merasa mabuk kepayang meskipun tahu bahwa pepohonan ini sangat dilindungi warganya. 

Seberapa melindungi? Yuk baca terus, karena saya menjadi saksi bagaimana warga sangat percaya pada tradisi lisan dan memitoskannya dengan kepatuhan yang luar biasa.


Hutan jati raksasa di Kudus

Desa Kandangmas Kecamatan Dawe, ke sanalah mobil kami melaju setelah dari Masjid Menara Kudus. Mas Imam, wartawan Kudus dan pemilik Pojok Kliping dengan baik hati mengantarkan kami sedari awal. Kami sedang mencari ragam hias ukir kuno dan makam Dewi Nawangsih adalah obyek yang menggoda. Siapa tahu ada motif ukir kuno.

Ragam hias ukir di hutan nawangsih
Ragam hias di petilasan Nawangsih Kudus (dokpri)

Sayangnya kami harus kecewa untuk yang satu ini karena motif-motif atau ragam hias yang ada sudah modern. Setidaknya buatan tahun 1900an. Kami mencari yang tahun 1500an. Kemarin saat riset sebelum menulis ini, saya baru tahu kalau bangunan-bangunan yang ada memang baru dibangun tahun 1989.

Hutan Masin atau banyak yang menyebutnya Hutan Nawangsih Kudus, memiliki luas 8 hektar dengan pohon-pohon jati raksasa yang tinggi menjulang, mengelilingi dua buah makam kuno yang dikeramatkan. Pohon-pohon jati raksasa membentuk sebuah lingkaran hijau yang indah. 

Ketika mobil akan masuk ke kawasan hutan, area ini seperti sebuah batu permata hijau yang indah. Zamrud yang dilindungi masyarakatnya, entah sampai kapan. Ini sebuah pertanyaan yang mungkin cukup menggelisahkan bagi saya. Akankah modernitas yang semakin pekat ini meluluhkan kearifan lokal? Ataukah akan selalu menjadi harta yang dijaga bersama?

Hutan jati ini memang memesona semua wisatawan ataupun para peziarah. Iya, selain turis dadakan seperti kami, Hutan Masin memiliki pengunjung tetap yaitu para peziarah, karena ada petilasan kuno yang wasilah-nya dipercayai masyarakat.

Hutan Masin tempat petilasan Nawangsih (dokpri)


Sampai tahun 1980an tak ada masyarakat yang berani menginjakkan kaki ke sana. Hutan tersebut menjadi sebuah belantara mini, oase yang hijau di pesisir utara Jawa. Dan ternyata, pembukaan hutan jati tersebut, serta pembangunan kembali petilasan tidak mengurangi ketaatan semua orang untuk menjaga dan melindungi hutan.

Yang jelas, hutan ini merupakan salah satu mutiara dari Gunung Muria yang memang harus dilindungi. 

Ah, ya, saya jadi ingat pernah mengunjungi mutiara-mutiara sejarah di sekitar gunung ini dan belum menulisnya. Salah satunya ke Patiayam, situs manusia purba di pesisir utara Jawa yang jarang dibicarakan dalam buku sejarah kuno.

Wisata menarik di Jepara yang bisa dikunjungi setelah pandemi berakhir


Tradisi lisan sebagai pelindung hutan

Konon katanya, Dewi Nawangsih adalah putri dari Sunan Muria yang berparas cantik jelita. Rinangku adalah seorang keturunan Kerajaan Mataram yang berguru pada sang sunan. Keduanya saling jatuh cinta. 

Entah karena tidak setuju atau bagaimana, karena ada banyak versi, yang jelas Rinangku terbunuh bersamaan dengan kekasihnya tersebut. Ada yang menyatakan bahwa Sunan Muria lah yang membunuh keduanya. Namun versi yang ini menjadi tidak logis karena seorang sunan membunuh anaknya sendiri agak sulit dimengerti oleh orang yang berpikiran kritis.

Batang pohon besar ini melapuk, entah sudah berapa puluh tahun tergeletak begitu (dokpri)

Masih menurut cerita lisan, ketika mendengar kematian keduanya, banyak warga yang datang ke sana, dan mereka semua dikutuk menjadi hutan jati. Semua warga yang telah menjadi pohon tersebut melindungi makam dari siapapun tanpa kecuali karena cukup rapat. Dongeng diatas juga disertai dengan sebuah ancaman, barang siapa mengambil sesuatu dari sana ia akan kena balak. Kena musibah. Mungkin sudah ada beberapa kali kejadian sehingga warga sangat percaya. 

Di awal saya menyatakan mata Jepara saya langsung melihat uang kertas merah menari-nari karena sejak masuk area hutan ada beberapa batang-batang pohon yang diameternya hampir setinggi saya tergeletak begitu saja di tanah. Padahal saya termasuk tinggi untuk ukuran perempuan.

Batang-batang pohon jati raksasa tersebut terbujur di tanah. Entah berapa pohon saya tidak menghitungnya. Semuanya mulai membusuk oleh beragam makhluk kecil penghuni bumi. Tentu saja proses pembusukan kayu jati tua akan memakan waktu yang teramat sangat lama. 

Batang pohon jati yang tiap satu batang pohonnya bisa untuk membeli mobil mewah tersebut tergeletak begitu saja, dan jumlahnya cukup banyak. Sebagian besar sudah dipotong-potong untuk membuat bangunan di dalam hutan. Bisa dipahami kaaaan….

Batang kayu jati yang berserak (dokpri)

Folklor tak pelak menjadikan warga sekitar menjadi penjaga hutan yang setia. Mereka menganggap hutan tersebut wingit alias keramat. Tak ada yang berani memasukinya, bahkan sekadar mengambil ranting kering yang jatuh sendiri di tanah.

Serius! Di sana ada warung dengan kursi-kursi di depan dengan para pengunjung yang awas memandang para pengunjung, memastikan mereka tidak membawa apapun. Anak saya membawa sebuah bunga jati yang jatuh dan memberikannya pada saya. Secara otomatis saya menerima dan tidak kepikiran meletakkan kembali, sampai kemudian beberapa warga meneriaki saya, meminta agar mengembalikan ke tempat semula. Wajib ke tempat semula. Gantian saya yang bingung, di mana anak kecil saya mengambil bunga tadi.

Sebenarnya banyak juga penikmat sejarah yang protes dengan folklor yang dipercayai masyarakat tentang Hutan Masin atau Hutan Nawangsih ini. Ada yang menyebutnya dagelan dan pencemaran nama baik Sunan Muria. Apalagi beliau tidak memiliki anak perempuan bernama Nawangsih. 

Meski demikian kiranya kita perlu mengakui bahwa tradisi lisan telah menjadi kearifan lokal masyarakat setempat. Pesan yang diberikan adalah, “Siapapun yang mengambil pohon jati tersebut akan mendapatkan balak” dan pesan ini masih sangat dipercaya oleh masyarakat termasuk pengunjungnya, sehingga kawasan seluas delapan hektar tersebut tetap utuh terjaga sebagai cagar budaya. 

Folklor untuk melindungi hutan dari kepunahan.... Dan rasanya tak habis rasa bangga terlahir sebagai orang Indonesia karena banyak kearifan lokal yang masih dijaga bersama. #IndonesiaBikinBangga

Mencari promo hotel di Karimunjawa


Petilasan keramat dan kapan waktu mengunjunginya

Memasuki area Hutan Masin di Desa Kandangmas Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus, pengunjung akan dibuat ternganga oleh pohon-pohon raksasa. Beberapa di antaranya tumbang. Mungkin karena alam, bisa juga ditumbangkan puluhan tahun lalu demi membuat jalan setapak. Yang jelas, batang-batang pohon jati yang tumbang tidak tersentuh tangan manusia. Tidak berkurang kecuali yang menjadi makanan alam; flora dan fauna di sekitar.

Tak butuh lama untuk menyusuri jalan setapak menuju jantung hutan: sebuah makam petilasan keramat yang sudah dibuatkan rumah berukir. Di sana juga ada bangunan-bangunan sederhana untuk duduk-duduk menanti tamu yang bergantian masuk ke dalam makam. Juga ada musala. 

Petilasan Nawangsih (dokpri)

Menurut juru kunci makam, hutan ini sering dikunjungi warga sekitar atau dari kota lainnya. Ada juga yang dari luar Jawa. Wasilah Dewi Nawangsih dan Bagus Rinangku dipercaya bisa mengabulkan hajat tertentu. Tak jauh dari perdagangan dan jodoh. Juga karena nadzar atau semacamnya. Bahkan syukuran. Jadi memang, terkadang ada rombongan pengunjung yang melakukan makan-makan di sana.

Bagi yang ingin ke sana, pastikan datang pada hari Rabu, Kamis atau Jumat agar tidak kecewa. Hanya tiga hari itu saja bukanya. Dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. 


Cagar budaya yang terjaga dengan sangat baik

Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, hutan dan petilasan kuno ini ini menjadi salah satu cagar budaya yang sangat terjaga kelestariannya. Memesona. Saya masih saja terpesona setiap kali mengingatnya. Juga kagum pada ketaatan masyarakat pada kearifan lokal mereka sehingga mampu menjaga dan melindungi hutan. Ini adalah salah satu jenis wisata yang ramah lingkungan


Batang pohon kayu jati dengan ukuran yang mencengangkan untuk ukuran sekarang karena sudah langka. Sumber foto disertakan dalam gambar.

Tak ada sedikit pun coretan di sana. Bahkan tak ada yang berani membawa sebuah daun kering yang jatuh pun. Salah satu contoh terbaik “berwisata tanpa merusak alam”. Saya juga sangat salut pada ketaatan para pengunjung hutan dan petilasan, selain para “penjaga” di warung yang dengan sigap mengingatkan pengunjung yang sedikit sembrono seperti saya.

Rasanya malu sekali lho, diteriaki banyak orang karena tanpa sadar membawa bunga jati kering yang jatuh di tanah. Wkwkwk.

Sungguh, pengalaman yang luar biasa! Semoga saja, hal ini akan tetap dilakukan selamanya. Semoga saja semuanya tetap setia melestarikan hutan jati ini, meskipun tahu nilainya tidak terhingga secara materi. Keserakahan yang menjadi sifat dasar manusia mampu dihambat sedemikian rupa oleh sebuah folklor atau tradisi lisan, dan membuat area seluas delapan hektar ini menjadi sebuah cagar budaya yang terlindungi dan jauh dari kepunahan. #UntukmuBumiku, kami akan menjaganya.

Oh ya, meskipun saya menyebut cagar budaya, saya belum mengecek apakah sudah didaftarkan oleh pemerintah setempat sebagai cagar budaya atau belum. Menurut saya layak disebut demikian. Bukan tentang bangunan petilasan yang tergolong baru, akan tetapi hutan jati raksasa ini sendiri dengan folklor-nya merupakan salah satu bentuk cagar budaya. Minimal cagar alam Indonesia.


Wisata alam yang terjaga kelestariannya (dokpri)


Menjaga lingkungan untuk keanekaragaman hutan

Hutan Jati Masin dengan tradisi lisannya adalah salah satu upaya kolektif untuk menjaga lingkungan hidup di sekitarnya. Ini adalah bagian dari upaya berkontribusi dalam memelihara keanekaragaman yang ada di Indonesia. Kita tahu betapa besar kebutuhan akan kayu jati di dunia pada umumnya dan di Jepara khususnya.

Kayu jati adalah kayu hidup yang solid. Kuat dan selalu dibutuhkan untuk aneka bentuk konstruksi. Jadi salah satu target perbanyakan melalui perkebunan. Memang akan selalu ada hutan-hutan jati raksasa di Indonesia. Buktinya sesekali ada truk kontainer yang membawa 1-2 batang kayu jati dengan ukuran raksasa di jalanan. 

Lempengan kayu jati di area petilasan, untuk pembangunan di area sekitar.


Kita bisa berharap, mereka yang berada di industri ini tahu tentang upaya pelestarian kanekaragaman hayati dengan beberapa cara yaitu reboisasi, tebang pilih, pengendalian hama, dan pelestarian alam.


1. Reboisasi

Reboisasi adalah pemulihan lahan yang rusak dengan cara menanam kembali tanaman atau pohon-pohon yang terdapat di wilayah tersebut.


2. Tebang pilih 

Tebang pilih adalah proses seleksi untuk menentukan pohon-pohon mana yang layak ditebang, sehingga jumlah pohon di wilayah tersebut tidak berkurang secara signifikan.


3. Pengendalian hama

Pengendalian hama secara biologi dapat dilakukan dengan melepaskan atau mengembangbiakkan predator alami ke habitat tersebut. 


4. Pelestarian alam

Pelestarian alam adalah tindakan untuk menjaga spesies tertentu dari kepunahan. Pelestarian alam dapat dilakukan secara insitu maupun eksitu. Pelestarian alam insitu dilakukan di habitat asli spesies tersebut, sementara pelestarian alam eksitu dilakukan di luar habitat aslinya. 

Upaya pelestarian keanekaragaman hayati indonesia (foto: Canva)


Mengacu dari 4 upaya di atas maka perlu dilakukan upaya perlindungan hutan atau dalam Ilmu Hutan disebut upaya pengawetan hutan, yaitu:

  1. Tidak melakukan penebangan pohon di hutan secara semena-mena, tetapi dilakukan dengan sistem tebang pilih;
  2. Mengusahakan agar penebangan pohon diimbangi dengan penanaman kembali;
  3. Mengadakan peremajaan hutan dan reboisasi, yaitu menanami kembali bekas hutan yang telah rusak;
  4. Mencegah kebakaran. Kerusakan hutan yang paling besar terjadi karena kebakaran. Jika terjadi kebakaran hutan, harus diusahakan pemadaman secepat mungkin.


Penasaran seperti apa hutan ini dalam bentuk video?


Cukup jelas ya, mewakili bagaimana kondisi Hutan Masin saat kami datang. Rasanya memang sayang sekali melihat kayu-kayu jati teronggok di tanah dan tidak terpakai. Namun mungkin ini lebih baik, karena berarti masyarakat masih menjaga hutan ini dengan ketaatan yang luar biasa.


Penutup

Semoga tulisan ini memberikan cakrawala baru untuk semua sobat Susindra di mana pun berada. Jangan lupa untuk selalu menjaga lingkungan. Saat berwisata pun, tetap jaga hati dan tangan dari perasaan memiliki sendirian. Semuanya adalah kekayaan kolektif yang perlu dijaga kelestariannya dan dilindungi dari kepunahan. Agar anak cucu kita pun tetap bisa mendatanginya dan belajar dari sana.


Sumber lainnya:

https://betanews.id/2017/02/juru-kuci-makam-banyak-jomblo-datang-ke-hutan-masin-kandangmas-meminta-jodoh.html

http://ilmuhutan.com/upaya-pelestarian-keanekaragaman-hayati-di-indonesia/


36 Komentar

  1. Benar benar dijaga oleh penduduknya ya mbak. Sampai sampai bunga saja yg kita bawa harus dikembalikan ke tempat semula. Kayu jati itu kuat banget sih bahkan hama rayap pun tak mampu memakan kayu jati

    BalasHapus
  2. Walaupun rada-rada tidak masuk akal alasannya, tapi dipikir-pikir andai mereka tak punya kepercayaan seperti pasti tuh hutan jati sudah gundul. Kan baru lihat saja sudah terbayang-bayang plastik merah kan ya...

    BalasHapus
  3. wah baisanay seperti itu budaya dan kearifan lokal masih melekat kuat ya. seperti suku baduy

    BalasHapus
  4. Ini menarik sih. Kan nggak banyak ya tempat yang terjaga seperti hutan masin itu. Apalagi banyak yang menjaganya. Sampai-sampai kita nggak bisa membawa bunga yang telah gugur. Apalagi mau metik ya. Forbid sekali pasti.

    BalasHapus
  5. Saya selalu suka folklore karena mencerminkan kearifan lokal setempat
    Di Bandung dan Sukabumi juga banyak hutan Mbak
    Jadi penasaran apakah sepekat hutan jati di Jepara

    BalasHapus
  6. Semoga terus dijaga dengan baik, dan bagi yang datang berwisata ke sana juga harus bijak. Ya jangan karena ada yang jatuh di depan mata terus diambil, hehe.

    BalasHapus
  7. Benar banget mbak
    folklore adalah bentuk kearifan lokal masyarakat yang bisa membantu melestarikan lingkungan

    BalasHapus
  8. Tidak banyak masyarakat yang masih menjaga kearifan lokal daerahnya. Salut juga sih bagi warga Desa kandangmas ini ya mbak. Mereka benar-benar menjaga apabila ada warga yang berkunjung

    BalasHapus
  9. Oh baru paham maksudnya tradisi lisan itu seperti foklor atau cerita turun temurun. Awalnya Aku kira seperti sebuah kisah yg pernah ku dengar "pohon juga makhluk hidup.jika bicara baik2 maka akan tumbuh baik namun jika kasar dan memaki pohon itu akan lemah dan cepat mati"
    Tapi jadi penasaran sama lokasi area hujan jati di Kudus ini

    BalasHapus
  10. Mbak, jadi bagaimana dengan bunga jati yang diambil oleh anak mbak? Di kembalikan ke tempatnya, ketemu nggak tempatnya? Saya jadi kepikiran juga kalau sampai nggak ketemu, gimana reaksi para penjaga :D

    Tradisi lisan yang dipercayai dapat membuat hutan jati selalu terjaga.

    Bagaimana bila tidak, apakah ada balak yang pernah terjadi dan diceritakan oleh warga di sana?

    BalasHapus
  11. Juragan mebel masuk hutan jati, terus mendapati banyak fosil kayu jati tergeletak begitu saja, pasti jiwanya meronta-ronta hehehehe...

    Ya ampun, bahkan bunga jati yang diambil anak kecilnya, harus dikembalikan ke tempat semula. Tapi bagus juga kepercayaan ini, membuat hutan tetap lestari

    BalasHapus
  12. Orang Indonesia tuh masih sulit untuk berwisata tanpa merusak alam. Bagusnya sudah mulai sadar ga membuang sampah sembarangan. Tapi masih senang petik bunga atau bawa2 apa kek di hutan yang disinggahi heheh :) Hutan Jati Masin haruus dong dipelihara, dilestarikan. Hasilnya buat rakyat juga kan. Di rumah orang tuaku dan aku juga ada perabotan dari kayu jati loh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheheh... ini ketrampilan jari mbak.
      Dulu kalau jalan-jalan ke taman, saya juga suka petik bunga-bunga buat di bawa pulang. Terus lama kelamaan sadar, kalau tindakan itu bisa merusak keindahan taman, lagian bunganya juga sampai rumah udah layu, terus akhirnya jadi sampah

      Hapus
  13. Saya kok jadi merinding baca tulisan ini hahaha. Hutan jati yang tak tersentuh kemudian berkolaborasi dengan petilasan. Lalu ada makam dan beberapa titik yang dibiarkan apa adanya. Rasanya seperti tempat yang sungguh "berisi". Ah mungkin saya berlebihan kali ya membaca uraian kalimat yang Mbak Susi buat.

    BalasHapus
  14. Kekuatan folklor tidak bisa diabaikan ya. Di beberapa tempat, banyak adat, budaya, dan kearifan lokal lainnya yang masih terjaga berkat folklor yang masih dipegang teguh kebenarannya oleh warga setempat secara turun-menurun.

    BalasHapus
  15. HUtan Masin dengan pohon2 yang besar, ahh nyaman banget, adem. Apalagi menghasilkan kayu2 jati yang bisa dijadikan perabotan di rumah yang aweet.
    Di rumah Mbah dan Bulek2 di Solo hampir semua pake perabotan dari kayu jati, enak adem banget di rumah tuh.

    Semoga saja kita bisa melestarikannya minimal kalao jalan2 ke alam tidak merusaknya dan mengambil apapun yang bukan milik kita.

    BalasHapus
  16. Dengan adanya tradisi lisan bahkan disertai ancaman barang siapa mengambil sesuatu dari sana ia akan kena balak, emmbuat hutan jadi terlindungi. Bagus sekali ini. Semoga terus diwariskan hingga nanti sehingga akan terjaga kelestariannya untuk anak cucu kita

    BalasHapus
  17. Jadi inget alm bapak yang ranger hutan
    reboisasi dengan bawa senjata itu wajib saat masuk hutan, apalagi lokasinya di dalam hutan jauuuuh banget di Kalimantan Timur - lalu ke Aceh which is sering dicegat GAM!

    BalasHapus
  18. Mungkin orang Indonesia mah tipenya harus pakai cerita rakyat ya supaya patuh melindungi hutan, kalau disuruh pemerintah biasanya enggak akan mempan, hehehe...

    BalasHapus
  19. Aku paling suka lihat gambar-gambar hutan, termasuk gambar ukirannya. Leluhur kita selalu punya makna dibalik apa pun yang mereka ciptakan. Semoga kita bisa senantiasa menjaga hutan ya mam.

    BalasHapus
  20. Hutan Indonesia udah banyak tersakiti hiks :'(
    kangen jadinya mengunjungi wisata kayak gini mba. Biasanya pohon suka banyak tulisan2 ya, ini bagus masih terjaga. Tradisi lisan ampuh untuk melindungi lisan. Aku liat videonya, besar banget itu pohon jati, raksasa beneeeer. Moga masih tetap lestari sampai kapan pun karena adanya hutan sangat penting

    BalasHapus
  21. jika dulu masyarakat banyak yang percayaaa yaaa mba dan mereka akan menjauhi hutan ya mba. Sekarang, kita harus berikan logika yang masuk di pemahaman semua akan bahayanya menghancurkan hutan

    BalasHapus
  22. Aku sebagai orang Kudus merasa gumun Mbak Susi nemuuu aja hutan Nawangsih. Padahal aku belum pernah ke sana. Pun, habis ini kayaknya aku akaaaaan..

    Pergi ke hutan nawangsih ❌
    Gooling lagi tentang sosok Putri Nawangsih ✔️

    BalasHapus
  23. Ternyata memang benar ya mbak, Kudus kaya dengan hutan jatinya. Mesti kalau beli mebel jati si bapak mebel selalu bilang ini mebel dari jati Kudus. Baru ngeh saya sekarang.

    BalasHapus
  24. Hutan bagiku seperti yang Ibu bilang "Banyak memedinya."
    Jadi orang kudu tau tempat, gak boleh asal berperilaku saat berada di tempat yang jarang ada manusianya.

    Termasuk nebang pohon dan kawan-kawannya.
    Selain merusak habitat makhluk yang terlihat, juga merusak habitat sang "Penunggu".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jujur aja, paling sedih saat melihat hutan adat dibabat dan beralih fungsi untuk penambangan dan perkebunan. Pernah lihat video orang utan yang kebingungan cari rumahnya karena udah jadi lahan tambang, huhuhu...

      Hapus
  25. artinya pohon jati yang dibawah itu nggak dipakai ya mbk,nganggur ya. MUbadzir..tapi ya itu, kalo diambil takut kenapa-napa ya. Aura hutan ini selalu istimewa, kalau masuk hutan harus hati-hati, termasuk menjaga perilaku.
    Makamnya buka di 3 hari itu aja ya mbk..

    BalasHapus
  26. Suka banget dengan ulasannya kak. Kalau di daerah saya juga ada temlat yang dikeramatkan. Kabarnya tempat itu sangat bersih padahal terletak di atas hutan dan banhyak pohon, tp setelah masuk di area tersebut sanvat bersih tanpa satu dedaunan pun

    BalasHapus
  27. Aku udah lama ga main ke Kudus, terakhir kesana tahun 2018. dan kata temenku di Kudus memang banyak hutan jati ya mba. Hutan ini penting banget dilindungi oleh kita ya mba, suka sedih aja gitu kalau sudah ada yang main tebang

    BalasHapus
  28. Luar biasa, sampe yang rebah aja nggak ada yang berani ngambil. Mungkin dengan adanya tradisi lisan ini orang-orang akan menjaga hutan dan nggak seenaknya sendiri. Pasti seneng banget ya mbak deket hutan, kayak rumah mertuaku nempel sama hutan, berasa adem dan jauh dari polusi juga :D

    BalasHapus
  29. saya baru mendengar cerita dan ulasan tentang hutan jati masin ini mak, kalo arti masin di Bengkulu, yah keasinan. Btw, ini perlu dilestarikan dan juga terus ada reboisasi supaya hutan Jati akan tetap ada

    BalasHapus
  30. Seru banget bacanya, sampai pelan2 biar aku bisa mengerti maksudnya. Aku sendiri masih fifty fifty dengan tradisi lisan. Kadang ada benarnya juga karena dengan cara itu hutan benar2 terjaga, bener lo yg mereka bilang "Jangan bawa apa2, nanti dapat bala", walaupun maksudnya udah pasti itu melebih2kan aturan agar tidak ada penebangan sama sekali karena memang yaa cepat atau lambat pasti kita kena bala, bala banjir, bala longsor, bala kekeringan di musim kemarau. Hehehe

    BalasHapus
  31. Sekalipun hanya tradisi lisan, tetapi mampu menjadi jalan buat orang untuk menjaga hutan. Yaah kalau dipikir-pikir kadang tidak masuk logika sih, tapi masyarakat kita kan masih banyak yang percaya. Kalau dilogikan sih, saat orang masuk hutan lalu menebang atau merusak maka akan datang bala, seperti bala banir dsb.

    BalasHapus
  32. Tradisi yang niatnya bagus banget untuk menjaga lingkungan. Kebayang deh kalau gak ada tradisi dilarang ambil barang apapun dari hutan jati ini. Sudah gundul hutannya.

    BalasHapus
  33. Sedih ya mba kalau denger berita hutan terbakar lagi terbakar lagi.. huhu perlindungan hutan memang tugas kita bersama selain pemerintah

    BalasHapus
  34. Aku baru tahu tentang hutan ini Mbak, indah sekali dan terjaga ya dari tangan jahil pencuri

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)