Serba-Serbi Kartini: Pelajaran dan Keterampilan yang harus dikuasai oleh Kartini dan Adik-Adik Perempuannya

Ada banyak pelajaran dan keterampilan yang harus dikuasai oleh Kartini dan adik-adik perempuannya. Terutama dua adik tercinta yang secara usia memang harus tumbuh bersama. Perlu diketahui bahwa kehidupan anak bangsawan sesuai dengan tahapan usianya. Bupati pada masa feodal yang hampir selalu punya banyak istri dan anak menyatukan proses didikan keturunannya sesuai usia. Itulah sebabnya mengapa pada sejarah Kartini hanya Roekmini dan Kardinah yang disebut, yang lain tak ada gaungnya. Keterpautan usia dan kehidupan mereka memang terpisah meski satu rumah. 

Lukisan karya Kartini dengan frame yang beliau desain

Kiranya, kita sangat beruntung memiliki seorang (perempuan) bumiputera yang rajin menulis. Saat itu, perempuan Eropa pun masih sangat sedikit yang melakukannya. Jangan heran dan sinis saat ada yang mengatakan Kartini melampaui zamannya. 

Surat Kartini jadi sumber sejarah lokal sampai internasional

Surat-surat Kartini sampai saat ini menjadi bahan penelitian sejarah dunia. Sedikit sekali sejarawan Indonesia yang tahu bahwa sejarah dunia, sejarah Indonesia, sejarah bangsawan, sejarah Kebangkitan Nasional dan sejarah lokal dapat ditemukan di antara guratan pena Kartini. 

Surat Kartini jadi sumber sejarah lokal sampai internasional....

Saya menemukan berpuluh hal menarik di buku surat lengkap Kartini karya Pak Joost Cote yang seharga sekitar dua setengah juta dan ful berbahasa Inggris itu. Saya mendapat kabar dari tangan pertama, beliau akan menerbitkan kembali surat adik-adik Kartini yang belum pernah dipublikasi. Saya tak sabar menanti karya peneliti sejarah dari Universitas Monarch yang sangat senior usia dan kajiannya. Saya harap kami dapat bertemu kembali. 

Surat Kartini menceritakan banyak hal. Kehidupan priyayi yang pernah dikunjungi atau mengunjungi rumah ayah beliau, menjadi salah satu sumber sejarah yang cukup penting sehingga bisa menelusuri jejak beberapa tokoh (perempuan atau laki-laki) pada masanya.  Fakta ini jarang diketahui oleh penulis sejarah atau mahasiswa yang menulis sejarah dan budaya. 

Saya sering menemukan hal baru, yang remeh temeh tapi ternyata sebuah peristiwa penting. Misalnya Jepara pada awal tahun 1900 punya kapal patroli yang canggih pada masanya sehingga para priyayi dan keluarga diajak uji adrenalin. 2 perahu patroli berkecepatan tinggi beradu saling mendekat lalu menukik tajam saling menghindar tanpa menjatuhkan perempuan-perempuan yang jejeritan di kapal. Sebegitunya, Kartini berkata, “Rakyat kami yang melihat dari darat pasti terpukau melihat kapal kami berlayar mendekat lalu berpapasan.”

Di atas hanya satu contoh cerita yang dianggap remeh sehingga tidak akan diperhatikan di buku surat beliau. Bagi saya, ini adalah sebuah kabar teknologi "perang" masa itu dan perkembangan secara umum. Akan tetapi saya tidak akan membahas tentang kapal patroli itu, yang jika ditelusur sangat mungkin akan sampai pada sejarah penumpasan candu di area Pantura, terutama di Lasem. Mungkin pernah dengar nama Lawang Ombo di Dasun? Saya pernah ke sana dan berhutang tulisan pada para sahabat di Dasun dan Lasem yang berminat pada sejarah dan budaya. 





Keterampilan wajib Kartini dan semua saudarinya

Kali ini saya lebih fokus pada fakta tentang Kartini Berkesenian dan keterampilan apa saja yang dikuasainya. Saya ingin mengabarkan sisi lain dari beliau. Sisi feminitas agar tak hanya diingat sebagai perempuan yang menyuarakan kesetaraan saja, juga sisi penguasaan bahasa asing beliau dan semua adiknya.

Sobat Susindra tentu tahu bahwa Kartini (dan adik-adiknya) mendapat pendidikan Barat dari sekolah di sebelah rumah beliau. Sebuah sekolah untuk putra-putri keturunan Eropa (Eurasia). Sekolah ini mengizinkan putra-putri bumiputera yang bisa bahasa Belanda dasar dan orangtuanya sanggup membayar sekolah yang mahalnya lhadallah. Praktis, hanya sedikit sekali keturunan priyayi yang sanggup masuk, dan saringan paling rapat diberlakukan bagi perempuan. Di seluruh Hindia-Belanda (saat itu baru Jawa, Madura, dan Sumatera (minus Aceh)) bisa dihitung jari, anak perempuan yang sekolah. 

Hal di atas tidak berlaku bagi daerah Vorstenlanden (4 kerajaan di Jawa) dan Buitengewesten (wilayah di luar Jawa). Seorang anak perempuan Minahasa yang tinggal di Semarang, misalnya, boleh masuk sekolah di ELS tanpa tes bahasa Belanda karena hukum yang berlaku adalah kerajaan asalnya. Demikian pula dengan tertuduh pencuri dari wilayah Buitengewesten, takkan bisa diadili di wilayah Hindia-Belanda yang saat itu baru Jawa, Madura, dan sebagian Sumatera. Perlu diketahui bahwa Belanda benar-benar menjajah seluruh Indonesia kecuali Papua setelah Politik Etis diberlakukan. Bab ini butuh sekian ratus kata sendiri, jadi saya skip saja.


Replika kamar pingitan Kartini

Bukan kebarat-baratan

Belajar di sekolah Barat tak membuat mereka kebarat-baratan. Mereka tetap Jawa asli yang dididik dengan cara pendidikan priyayi. Saya tak hanya bicara tentang anggah-ungguh priyayi, akan tetapi juga harus dilatih bermacam tingkatan bahasa Jawa (ada 23 tingkatan) sejak bayi melalui mbok embannya, dengan disupervisi secara ketat oleh raden ayu. Saya juga membicarakan tentang penguasaan seni yang wajib, meliputi tandakan (tarian tradisional), gending, macapat, dan olah suara. Saya juga mengabarkan tentang kewajiban perempuan priyayi bangsawan menguasai keterampilan membatik. Tentang pelajaran kedaton (etiket kerajaan) yang diajarkan ketika remaja. 

Rasanya saya harus mengabarkan bahwa Kartini dan adik-adiknya juga menguasai beberapa keterampilan Barat, seperti membordir, menyulam gaya Barat, decoupage, melukis dengan berbagai media, dari guru-guru Eropa yang didatangkan ayahnya. Bahasa Asing pun menjadi bagian wajib yang harus dikuasai oleh putri para Japara ini, antara lain bahasa Belanda dan bahasa Perancis. Sebuah ‘beasiswa’  dari ayah untuk belajar bahasa Jerman dikabarkan oleh Kartini dalam surat tahun 1901, akan tetapi ia lebih tertarik mengambil kursus bahasa Inggris. Bagaimana cara membagi waktu 24 jam dengan semua keterampilan di atas? Itu bukan sesuatu yang muskil, lho. Malahan mustahil jika saya tulis semua dalam satu artikel begini. Doakan bisa dalam bentuk buku, ya.

Mungkin menarik: Sewindu Rumah Kartini

Istirahatkan mata sejenak dengan foto saat saya membantu Travel Japara
mengurasi sejarah di Serambi Beakang Pendopo Kabupaten

Buku Tiga Saudara karya R.Ay. Reksonegoro (Kardinah) yang terbit pada tahun 1966 (dalam bahasa Indonesia, Jawa halus dan Belanda) menjawabnya. Saat menulis ini saya hanya menemukan draft buku yang berbahasa Jawa. Perlu diketahui bahwa ini cerita masa kecil. Pada Bab pertama tertulis:

Kejawi piwulang Welandi, menawi sonten inggih sinau basa Djawi saking guru Djawi, ing dalem kabupaten wiwit jam kalih siang ngantos djam sekawan sonten.
Kedjawi punika, gantos-gumantos seminggu kaping kalih, sinau ndjait, njulam, lan ngrenda saking njonjah Welandi, dènè piwulang ngaos (ngadji) saking guru-guru santri.
Sampun temtu kula sami ladjeng boten gadah wekdal kanggè dolan lan nggarap pendamelan saking piwulang Welandi. Nanging sedaja wau saged tumindak kanti saé lan kantjar, awit saking anggènipun ngèstokaken sadaja dawuhipun para sepuh kanti temen-temen.
Penasaran artinya? Hehe. Baik saya terjemahkan.

Selain pelajaran (di sekolah) Belanda, ketika sore kami belajar bahasa Jawa dari guru Jawa, di rumah kabupaten mulai jam 2 sampai jam 4 sore.
Selain itu, secara bergantian, seminggu dua kali, kami belajar menjahit, menyulam dan merenda dari Nyonya Belanda, sedangkan guru mengaji kami dari guru santri (perempuan).
Tentu saja kami semua kemudian tidak punya waktu untuk bermain dan mengerjakan tugas sekolah Belanda kami. Akan tetapi semua itu dapat berjalan dengan baik dan lancar, karena kami sangat mematuhi semua perintah para orangtua kami dengan sungguh-sungguh.

Wow banget kan ya?

Padatnya pelajaran tak membuat mereka melupakan keterampilan memasak. Ibu Ngasirah mengajari mereka memasak (dan membatik secara lengkap). Dari kesaksian murid Sekolah Kabupaten pertama di Jepara pada tahun 1903 saya mendapati bahwa Kartinah (putri ketiga R.Ay. Moerjam) paling ahli memasak dan bersama Bu Ngasirah menjadi pengatur menu dan supervisi para koki. Keterangan ini ada di buku saya Sekolah Teras Rumah Bupati Japara 1903-1905 yang semoga dimasukkan sebagai karya akademis yang layak terbit oleh Kemendikbud pada bulan Oktober tahun ini. Semoga!

Keterangan lainnya saya dapatkan dari buku R.Ay. Reksonegoro lagi yang menyatakan:
Swargi Mbakju Kartini ugi saged lan prigel olah-olah Djawi, Welandi, punapa malih saking buku masakan Welandi. Damel bonbons, caramel, lan sanès-sanèsipun malih ingkang saged. Punapa sadaja kagem Swargi Rama-Ibu bilih ngunjuk teh utawi kopi.
Bakju Kartini ugi ngarang (Ngasta) buku masak, kaserat piyambak; kula ugi dipun paringi, nanging sampun katriwal, kantun salembar ingkang kula simpen.

Artinya.....

Almarhumah Mbakyu Kartini juga bisa dan pandai memasak masakan Jawa dan Belanda, apalagi yang ada di buku masakan Belanda. Membuat bonbons (permen lunak – bahasa Perancis), karamel, dan lain-lainnya juga bisa. Itu semua untuk almarhum ayah-ibu ketika minum teh atau kopi.
Mbakyu Kartini juga membuat (mengajarkan) buku memasak, ditulis sendiri; saya juga diberi, akan tetapi sudah rusak dan tinggal selembar yang saya simpan.
Keterangan mengenai keterampilan bahasa asing yang dipelajari Kartini ada cukup banyak. Bukti otentik ada di Meseum Rembang berupa surat berbahasa Perancis. Bukti lainnya adalah foto sekolah Kartini yang jika punya versi HD, akan terlihat tulisan di sana berbahasa Perancis. Jadi, murid beliau diajari bahasa Perancis juga.

Berikut petikan dalam surat Kartini pada Rosa Tanggal 23 Agustus 1900: 

Pa also gave us, as a present, a study course in German but, if we ever finish with French, then we hope to begin rather with English; German can come later, if we are still alive, that is.
 ~
Ayah juga memberi kami hadiah, belajar bahasa Jerman, jika kami sudah selesai belajar bahasa Perancis. Tapi kami lebih mengharap belajar bahasa Inggris; bahasa Jerman selanjutnya, jika kami masih hidup.

Belajar bahasa asing bukanlah gaya-gayaan, akan tetapi memang dibutuhkan. Kartini, Roekmini  dan Kardinah harus menguasai bahasa Perancis jika ingin sekolah ke Belanda. Ini syarat wajib bagi semua pelajar Hindia-Belanda yang akan ke sana, berlaku juga bagi para putra-putri keturunan Eropa sebagaimana autobiografi Kartini yang ditulis untuk Rosa pada ulang tahun pertama perkenalan mereka. 


Sekolah Kartini di Jepara sebelum menikah

Bupati Sasraningrat, ayahnya, memberikan beasiswa belajar bahasa Jerman karena saat itu Kartini kerap menjawab surat dari Profesir Gustav K. Anton.  Prof. Anton adalah  seorang akademisi di bidang politik yang sedang melakukan riset tentang “Politik di Negara Koloni Belanda” yang langsung menemukan Kartini sebagai ‘sumber pengetahuan dari dalam’. Kehidupan dan suara bangsawan tak banyak keluar di pemberitaan sehingga menjadi misteri.  Untuk para perempuan, bahkan lebih jauh, mereka hidup dalam tembok-tembok rumah kabupaten yang sangat tinggi dan tebal. Mereka nyaris tak terlihat saat itu. Saya katakan nyaris, karena ada satu dua yang diperbolehkan keluar rumah dengan mengendarai kereta tertutup rapat.

Wohoi! Sudah 1200 kata dan saya bahkan belum menceritakan tentang bagaimana cara priyayi belajar mengaji pada zaman kolonial. 

Saya cukupkan dulu, akan saya sambung di kemudian hari, di lain tulisan. Sebelumnya, saya menitipkan sebuah mahakarya Japara, berupa sebuah macan kurung. Fokus pada kreativitas Kartini dalam memasukkan unsur wayang dalam seni ukir Jepara (dan menjadi buku kedua saya dan teman-teman Rumah Kartini nanti). Proses kreatif Kartini menciptakan order khusus dan ukiran custom sesuai pemesan bertebaran di banyak surat. Sila baca kembali buku beliau, ya!


Kisah lengkap foto ini bisa dibaca tulisan tentang Macan Kurung

Saya banyak menulis story telling tentang sejarah dan sejarah Kartini. Yuk baca lebih banyak....

Terima kasih sudah membaca artikel tentang serba-serbi Kartini, terutama tentang pelajaran dan keterampilan yang dikuasai. Semoga menjadi renungan dan semangat Sobat Susindra untuk terus belajar dan menguasai keterampilan baru, agar bangga menyebut diri sebagai Kartini Masa Kini atau Kartini Milenial. Karena, Kartini yang hidup para era kolonial ternyata tak kalah milenial.





4 Komentar

  1. Ini sangat mencerahkan sekali.. ditunggu tulisan berikutnya ya Mbak..

    BalasHapus
  2. Wow... Keren, lanjut Mbak, pingin belajar banyak dari Ibu Kartini

    BalasHapus
  3. wah makasih tercerahkan, banyak hall yang dipelajari Kartini ya, krn ada saja yang bilang kok kartini pahlawan wong cuma nulis bikin surat, nyebelin kan

    BalasHapus
  4. Saya suka sekali kalimatnya mbak Susi : "Belajar di sekolah Barat tak membuat mereka kebarat-baratan. Mereka tetap Jawa asli yang dididik dengan cara pendidikan priyayi". Jarang sekali dimiliki oleh perempuan jaman now. Kadang saya pun terpapar dan secara tidak sengaja berperilaku ke barat-baratan akibat jauh dari keluarga. Tapi kembali lagi, harus menjadi ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Hihihi, salam kenal ya mbak Susi, saya suka sekali tulisannya mbak Susi yang berbau sejarah ini.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)