FGD tentang Pendopo Kabupaten Jepara sebagai Cagar Budaya

Kemarin saya mengikuti FGD atau diskusi terpumpun di Paseban Museum Kartini Jepara kembali. Kali ini, tentang Pendopo Kabupaten Jepara sebagai BCB atau Bangunan Cagar Budaya. Pendopo Jepara dibangun pertama kali pada tahun 1750, pada masa Adipati Tjitrosoma II (atau III), sebagai rumah tinggal. Sejalan dengan perubahan peran adipati kerajaan yang menjadi abdi pemerintah kolonial pada masa Tanam Paksa, rumah bupati dikembangkan menjadi rumah dinas. Klan Adipati Tjitrosoma menjadi adipati penguasa tertinggi di Jepara dari Klan Adipati Tjitrosoma I – VII. Terakhir adalah Tjitrowikromo, ipar dari Klan Adipati Tjitrosoma VII yang akhirnya menjadi mertua ayahnya Kartini. Jadi, pendopo Kabupaten Jepara menjadi rumah Bupati Sosroningrat mulai tahun 1881. Saat itu Kartini baru berusia 2 tahun.

Foto Pendopo Kabupaten Jepara pada tahun 1920. Mungkin ini kondisi terdekat yang dapat dipilih.
Foto dari Leiden University Library. 


Kartini adalah tokoh nasional yang mendunia. Bisa juga dikatakan tokoh emansipasi dunia karena surat-suratnya yang dibukukan cukup mengguncang dunia. Buku Door duisternis tot licht (DDTL) diterjemahkan ke dalam 20 bahasa, dan selalu mengalami cetak ulang. Embrio emansipasi dan Kebangkitan Nasional, embrionya tumbuh di dalam Pendopo Kabupaten Jepara. Ide-ide segar yang mengguncang dunia ditulis di rumah ini. Ditulis sampai jam 3 malam, dengan berpenerangan lampu minyak. Kartini remaja menulis di lantai, beralaskan tikar pandan. Dleprok di lantai, dan tak jarang sampai tertidur di lantai. Begitulah kesaksian adiknya, Kardinah dalam sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1966 berjudul Tiga Saudara.


Foto Pendopo Kabupaten Jepara pada tahun 1920. Masih ada pohon kipas. Foto dari Leiden University Library.

Pendopo Kabupaten Jepara disebut sebagai bangunan cagar budaya, telah mengalami ‘vandalisme’ parah dari bupati sebelum-sebelumnya. Keaslian dan keotentikannya hanya tinggal selapis tipis yang sangat mengecewakan. Tak hanya kami, para pecinta sejarah Jepara yang merasakan aura Kartini telah hilang di sana. Para tamu dari luar kota juga sudah sering komplain tentang bagaimana pendopo ini telah rusak. Saya tak hanya bercerita tentang ukiran-ukiran ‘modern’ yang belum ada pada era Kartini, akan tetapi juga adanya wallpaper yang dipasang di ruangan-ruangan pendopo yang sangat menyakitkan mata. Juga penggantian lantai tua menjadi lantai keramik putih. Di bagian luar, ada lapangan badminton dan kolam renang mini yang membuat kami ingin menangis, jujur saja. 

Suasana di belakang pendopo. Dokpri November 2019

Kolam renang di samping pendopo. Dokpri November 2019

Menurut Pak Tri Cahyono, yang pernah menjabat di Kantor Urusan Rumah Tangga, perubahan mencolok pendopo, berupa pemasangan ukir-ukiran dan lantai keramik, dilakukan pada masa Bupati Hisom Prasetyo, tahun 1981-1991. Saat itu, Pak Tri sudah berada di kantor Urusan Rumah Tangga Bupati. Menurutnya, ukir-ukiran di sana, berupa ‘topeng’ yang bisa dilepaskan tanpa merusak struktur bangunan pendopo. Jika benar ingin dikembalikan ke masa hidup Kartini, agar Pendopo Kabupaten Jepara menjadi living monument of Kartini, maka pemerintah perlu membuat sebuah bangunan yang sama seperti pendopo saat ini, dan semua benda yang menjadi hiasan ‘modern’ pendopo bisa diletakkan di sana, sehingga kelak Jepara memiliki 3 pendopo: pendopo yang saat ini sudah ada, Pendopo Kalinyamat yang sedang digagas, dan pendopo replika yang disarankan Pak Tri dan beberapa teman yang ingin segera mengembalikan keotentikan pendopo pertama.


Ukiran di pilar pendopo kabupaten jepara. Dokpri November 2019.
Saya sengaja membidik ring tambatan kuda, saat mobil belum ada di Jepara.

Di diskusi ini, Pak Tri juga mengajak Pak Jatmiko, seniman Jepara yang menjadi salah satu pembuat ukiran di sana. Pak Jatmiko telah sering masuk ke dalam pendopo sejak tahun 1960an awal, sehingga bisa menjadi sumber pertama tentang keadaan pendopo pada masa itu. Ia adalah teman sekolah SD Rono Bedjo yang menjadi anak angkat bupati yang berkuasa saat itu. Gapura di bagian luar masih sama seperti di gambar. Beliau saat masih kecil, sering tidur di lengkungan gapura. 

Pagar melengkung pendopo Jepara yang dikisahkan Pak Jatmiko. Foto tahun 1924 masih ada.
Foto dari Leiden University Library. 
Coba amati dengan perubahan jalan di depan pendopo....

Pagar melengkung pendopo Jepara yang dikisahkan Pak Jatmiko. Foto tahun 1936 masih ada.
Foto dari Leiden University Library. 
Menurut Pak Jatmiko, pendopo bagian kamar pendopo, aslinya adalah sebuah lorong panjang yang di kanan-kirinya adalah sebuah ruangan yang panjang, pada masing-masing bagian. Jadi bukan kamar seperti dikira semua orang. Kamar pingitan saat ini, aslinya adalah teras terbuka di luar. Kami langsung tercengang. Kami menemukan fakta menarik dari Pak Wahyu Broto harjo dari Balai Pelestarian  Cagar Budaya Jawa Tengah yang datang bersama Bu Asmara Dewi. Semoga saya tidak salah mengeja nama-nama beliau. Saya sampaikan nanti, ya, plus tanggapan saya, berdasarkan surat Kartinah dan Soematri, dua adik Kartini yang menjadi saksi hidup di pendopo tersebut pada masa Kartini.

Jika menilik pemaparan Pak Jatmiko, sebagai saksi hidup Pendopo Jepara pada tahun 1960an (sebelum PKI), saya membayangkan, besar kemungkinan, kondisi pendopo masih seperti di foto tahun 1932 yang dapat diakses secara publik. Oh, ya, saya lupa tanya, apakah menumen jam seperti di gambar masih ada atau tidak. Saya pernah menulis tentang tugu ini di artikel Jepara Tempo Doeloe

Jam di depan pendopo. Foto dari Leiden University Library
Masih banyak pemaparan para tamu undangan FDG tentang Pendopo Kabupaten Jepara kemarin. Beberapa jajaran Forkopinda Jepara, pemerhati sejarah, dan tamu spesial dari dari Balai Pelestarian  Cagar Budaya Jawa Tengah yang memang tugasnya memastikan pelestarian cagar budaya Jawa Tengah, secara bergantian mengemukakan pengetahuan, pendapat, serta saran. Saya hanya akan mengampil poin penting tema tulisan kali ini. Jangan khawatir, saya akan menuliskan dengan tema dan judul berbeda, bagi para pecinta sejarah dan cagar budaya di kota masing-masing. 

Bu Ida, Kasi Sejarah dan Cagar Budaya memerikan tentang kondisi pendopo sebagai cagar budaya memang sudah sangat memperihatinkan. Pergantian pemimpin (bupati) menitipkan perubahan yang menyesuaikan trend. Jika Bupati Hisyom (1981-1981) menambahkan ukir-ukiran di keliling tembok pendopo agar mengukuhkan Jepara sebagai pusat ukir, bupati selanjutnya sampai bupati tahun 2016, menambahan kursi dan meja untuk tamu, lapangan badminton, kolam renang, menjadikan dapur keluarga sebagai rumah pegawai rumah tangga, dan masih banyak lagi. Itulah sebabnya, pada tahun 2016 segera dibuat SK Bupati yang mengukuhkan pendopo ini sebagai bangunan cagar budaya. Jadi, takkan ada lagi ‘vandalisme’ berkedok estetika yang menimpa pendopo. Semua yang sudah telanjur, dibiarkan dulu sampai tim TACB (Tim Ahli Cagar Budaya) Jepara pada tahun 2020. Jepara sudah memiliki 3 TACB, yaitu Mas Lulut, Mbak Lia, dan Mas Fajar. Selamat, ya Mas dan Mbak. Senang akhirnya kita bertemu, meski tidak foto.

Oh ya, saya ingin membanta sedikit tentang siapa yang membuat ukiran keliling di pilar-pilar pendopo. Kebetulan saya menemukannya di foto lama saat si mbarep masih TK. Saya menemukan fotonya di artikel Jeparaku yang Unik.



Dari artikel lain tentang kunjungan si mbarep ke Pendopo Kabupaten Jepara, tampak bahwa pilar masih polos berwarna putih. Ukiran melati berkelopak 4 sudah ada di sana, entah asli atau tambahan setelah masa Bupati Sosroningrat.

Pak Hendro Martojo akan berfoto dengan murid-murid TK. Anak laki-laki kedua di belakang yang berambut keriting adalah si sulung saya. Foto dokpri tahun 2011

Tampak atap dan pilar di belakanng foto si mbarep. Foto dokpri tahun 2011

Suasana kamar pringitan pada tahun 2011. Foto dokpri

Bu Asmaradewi (Bu Dewi) menjadi pembicara selanjutnya, mengatakan bahwa bangunan cagar budaya adalah living monument yang sering mengalami perubahan tidak perlu. Perubahan ini tak bisa dihindari. Biasanya terjadi karena ketidaktahuan akan nilai sejarah, sehingga dengan alasan kepantasan dan kenyamanan, orang yang tinggal di bangunan cagar budaya akan membuat perubahan. Yang paling sering memang pencopotan lantai lama, diganti dengan lantai keramik. Setelah memaparkan banyak hal, Bu Dewi memberi PR kepada kami, apakah kami sanggup mendaftarkan Pendopo Kabupate sebagai Cagar Budaya Nasional? Cara ini membuat upaya revitalisasi pendopo berlangsung dengan lebih cepat karena pendanaan dari pemerintah pusat. 

Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan Pak Wahyu Brotoharjo yang melengkapi dengan lebih banyak informasi.

Pak Broto menyatakan, oleh karena Pendopo Kabupaten Jepara telah memiliki SK Cagar Budaya (dari Kabupaten) maka, selanjutnya yang berlaku adalah apa yangdiatur dalam UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu pasal 31 ayat (5), yaitu: “Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.”

Haruskah ia diselamatkan? Bagaimana? Ayo segera bergerak

Bagi teman-teman yang ingin tahu tentang pasal ini, saya kutip keseluruhan. Saya juga perlu save agar tak lupa, dan menulis adalah upaya melekatkan ilmu.
UU No 11 Tahun 2010 pasal 31 berbunyi:
(1) Hasil pendaftaran diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya untuk dikaji kelayakannya sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.
(2) Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya.
(3) Tim Ahli Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan:
a. Keputusan Menteri untuk tingkat nasional;
b. Keputusan Gubernur untuk tingkat provinsi; dan
c. Keputusan Bupati/Wali Kota untuk tingkat kabupaten/kota. 
(4) Dalam melakukan kajian, Tim Ahli Cagar Budaya dapat dibantu oleh unit pelaksana teknis atau satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang Cagar Budaya.
(5) Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya.

Pasal 31 ayat (5) inilah yang dipakai sekarang ini. Upaya apapun, bahkan pencopotan wallpaper dan pemindahan benda seperti kursi, menunggu kerja keras Tim TACB Jepara yang SK-nya akan diberikan awal tahun 2020 ini. Meski, tentu saja, sudah bisa memulai konsep sekarang sambil menunggu SK keluar.

Pak Broto melanjutkan dengan pemaparan tentang 3 konsep revitalisasi yang dapat kami pilih, yang disebut dengan 3 konsep:
  1. Dilihat dari sejarah budaya. Jika ini yang digunakan, itu artinya, apapun yang tidak berkaitan harus dihilangkan. Contohnya adalah pemugaran besar di area sekitar Borobudur dan Prambanan.
  2. Dilihat dari ilmu sejarah. Itu artinya, semua perubahan yang terjadi di pendopo dan sekitarnya, jika memiliki nilai sejarah, maka tidak dihilangkan. 
  3. Post moderisme, dalam bentuk quisioner, untuk mengetahui pendapat semua warga Jepara.


Sebelum memilih menggunakan yang mana, baiknya semua data yang ada dikumpulkan, dipilih dan dipilah, lalu disimpulkan mau dibawa ke mana. Oleh karena pendopo ini sudah ada sejak tahun 1750, jauh sebelum era Kartini, tentu perlu dipertimbangkan benar, mau mengembalikan pendopo ke wajah pada tahun yang mana? Tentu saja, semua sepakat dikembalikan pada era Kartini, yaitu awal tahun 1900. 

Foto pendopo tahun 1936. Tampaknya tidak berubah jauh pada tahun 1966, jika menggunakan Pak Jatmiko sebagai salah satu sumber data primer
Jika menurut surat Kartini dan keluarga, tentunya dikembalikan pada tahun 1902, agar sekolah teras yang didirikan oleh Kartini, yang menjadi hasil cipta rasa dan karsa Kartini dapat ditampilkan. Jadi, kita tak lagi membicarakan tentang embrio emansipasi, kebangkitan nasional saja, tapi juga dan pendidikan perempuan. Di pendopo ini, di ruangan yang disebut dengan Serambi Belakang Pendopo Kabupaten, adalah bukti adanya sekolah resmi pertama di Indonesia. 

Rumah dinas Bu Ngasirah, dapur umum, dapur khusus, dan kamar Mbah Suro, sekarang menjadi kamar pegawai bersih-bersih di sana

Rumah dinas Bu Ngasirah, dapur umum, dapur khusus, dan kamar Mbah Suro, sekarang menjadi kamar pegawai bersih-bersih di sana

Serambi belakang tempat Kartini membatik. Tampak, serambi belakang yang menjadi sekolah Kartini  pertama.

Menurut surat Kartinah dan Soematri, dua adik Kartini, serambi belakang ini relatif baru. Baru selesai pembuatannya pada tahun 1902. Pembuatan serambi belakang ini juga menambahkan 2 kamar yang aa di sebelah kiri. 2 kamar tersebut, yang satu menjadi kantor sekolah, yang satu menjadi tempat tidur Kartinah dan Soematri beserta murid-murid yang belajar bersama mereka. Bu Warsini, salah satu murid Kartini juga memberikan kesaksian serupa.

Kartinah dan Soematri, dua adik Kartini yang mengalami zaman modern, ketika perempuan bebas sekolah. Soematri (kanan) merupakan lulusan amtenaar pertama perempuan.

Oh ya, masih menunggui tanggapan Pak Broto tentang 2 kamar di samping lorong, yang awalnya kami kira kamar?

Pak Broto mengatakan bahwa rumah residensial kuno (sebelum gaya Indis), memang tidak mengenal kamar. Hanya ada sentong atau tempat beristirahat. Semua anggota keluarga berkumpul menjadi satu. Anggota keluarga laki-laki tidur ruang sebelah kanan dan anggota keluarga perempuan tinggal di ruangan sebelah kiri. Bukti bahwa belum adanya kamar di pendopo kabupaten, berarti memang pendopo ini tidak meminjam gaya indis pada bangunan utamanya. 

Diskusi berlangsung sangat seru, dari jam 10.00 sampai jam 1 siang. Setelah diskusi ditutup kami yang tidak pulang tanpa sadar, makan siang secara berkelompok sesuai minat. Saya menyusul Mas Apeep Qimo, bergabung dengan Pak Broto dan Bu Dewi dari BPCB Jateng yang berkantor di Jl. Manisrenggo Km. 1 Bugisan Kec. Prambanan Jawa Tengah 57454. 

Diskusi terpumpun atau FGD (Focus discussion group) kemarin, bukanlah langkah awal untuk menyelamatkan Pendopo Kabupaten Jepara sebagai cagar budaya, akan tetapi sebuah awal keseriusan kami untuk berlari mengejar kabupaten lain yang telah menyelamatkan rumah dinas bupati mereka dari kerusakan-kerusakan. Saya di sini menyebut vandalisme karena ingin menekankan betapa parah kerusakan yang terjadi di sana. Yah.. meskipun Pak Broto juga mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh bupati-bupati sebelumnya, dalam menghias pendopo sehingga merusak keasliannya, bisa dihukum dengan sangat berat, seperti di Pati, misalnya. Penggantian tegel berakhir dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan pencopotan dari semua pangkat yang ada. 

Mari kita lestarikan cagar budaya di sekitar kita. Mari kita bahu membahu mengembalikan Pendopo Kabupaten Jepara kesayangan kita seperti dahulu kala, sehingga kita bisa bangga menjadi masyarakat Jepara, yang menjadi embrio Emansipasi, Kebangkitan Nasional, Pendidikan Perempuan, dan DNA Literasi di Indonesia. 

16 Komentar

  1. Seneng ya kalau ada tempat2 yang dirawat dengan tidak merusak keindahan awal nya , pendopo ini mengingat kan kampung halaman

    BalasHapus
  2. Sayang banget ya kalau sampai sekarang belum ditetapkan menjadi cagar budaya. Aku juga baru tau ternyata soal penetapan ini masih banyak permasalahan di hampir semua daerah di Indonesia. Masalah disini maksud saya banyaknya bangunan2 cagar budaya yang belum ditetapkan. Semoga ke depannya bisa lebih rapih adminitrasi dan segera dapat ditetapkan.

    BalasHapus
  3. Penambahan atau pengurangan bangunan cagar budaya idealnya berkordinasi dengan pihak pihak yg mengerti sejarah dan tahu budaya.

    BalasHapus
  4. Saya kemarin sudah membaca soal museum kartini yang ada di Jepara maupun di Rembang juga ya, Mbak Susi. Kali ini tentang Pendopo Jepara yang masih dikaitkan dengan Kartini. Hanya sayangnya kalau tidak dirawat ya, Mbak. Padahal ada nilai sejarahnya juga.

    O, iya,beberapa waktu lalu saya sempat ke Kutoarjo. Itu pendoponya sangat bagus dan masib terawat, Mbak. Jadi masih mempertahankan keasliannya.
    Jadi bagusnya memangg kalau ada bagian yang rusak, diusahakan diganti menyerupai bentuk dan model aslinya.

    BalasHapus
  5. Suasananya jadi keingetan kampung. Memang seharusnya bangunan lawas dan bersejarah seperti ini dirawat tanpa mengurangi nilai estetika nya

    BalasHapus
  6. Alhamdulillah ya mbak, pendopo ini terawat. Jadi kita bisa mengajak anak-anak untuk napak tilas kisah kartini.

    BalasHapus
  7. Pendopo nya bagus resik mba Susi. Dan pemprov sepertinya concern dengan lestarinya Cagar budaya di wilayahnya ya mba. Semoga selalu terjaga dengan baik

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. Mbak..speechless aku. Semangat peserta FGD kurasakan dari membaca tulisan ini. Memang sangat disayangkan jika demi etika dilakukan perubahan yang dilakukan pada sebuah cagar budaya. Beneran vandalisme ini. Semoga kerja keras untuk mewujudkan pendopo Kabupaten Jepara dimudahkan dan dilancarkan ya. Sukses untuk kerja tim yang telah dibentuk!

    BalasHapus
  10. Bagus banget ada Forum Group Discussion ttg Pendopo Jepara sbg cagar budaya ini. Mengingatkan pada generasi muda agar senantiasa melestarikan warisan nenek moyang. Kegiatan yg sangat berfaeda, Mbak Susi

    BalasHapus
  11. Wah serasa membaca sejarah dan kembali ke masa kini hehe. Btw itu boleh dikunjungin umum, bebas gtu ya mbak, atau pakai janjian dulu sama pengurusnya.
    Aku suka banget sama foto2 masa lampaunya itu, tapi kok sumbernya dr universitas asing ya, apakah di Indonesia tdk tersimpan dokumennya? :D

    BalasHapus
  12. Bagus sekali y mbak susi ada Forum Group Discussion tentang Pendopo Jepara sebagai cagar budaya ini. Mengingatkan pada generasi muda agar senantiasa melestarikan warisan nenek moyang. Kegiatan yg sangat baik apalagi mengenalkan kepada kaum muda

    BalasHapus
  13. mirip2 bangunannya dg pendopo di Cirebon, dipakai buat rumah bupati

    BalasHapus
  14. Nice post! pembahasan yang sangat menarik sekali..

    BalasHapus
  15. gak banyak yang berubah yak, salut aku sama pihaknya karena masih mempertahankan bangunan aslinya dan tidak banyak yang diubah.

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)