Nguri-Uri Bahasa Melayu di Hari Kebangkitan Nasional 2021

Nguri-uri bahasa Melayu di Hari Kebangkitan Nasional 2021, yuk, sembari melintasi waktu di masa lampau, sebagai pemuda yang mencintai perubahan. Pernahkah Sobat Cakrawala Susindra membayangkan seperti apa rasanya jadi para pemuda Nusantara menghadapi era baru? 

Nguri-Uri Bahasa Melayu di Hari Kebangkitan Nasional 2021


Saya belum menyebutnya Indonesia meski kata “Indonesia diperkenalkan oleh James Richardson Logan pada tahun 1850, dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia atau “Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur. Logan menyebut kata "Indonesia" dalam artikelnya berjudul On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian dan Malay-Polynesian Nations di jurnal JIAEA Volume IV halaman 252-347. Kata ini masih sangat terbatas di kalangan akademisi di bidang tertentu. 

Sungguh amat sangat beruntung, mereka yang dapat mencium aroma era baru di masa itu. Masa awal-awal abad ke-20. Ini berarti mereka adalah orang-orang yang beruntung karena terlahir sebagai bangsawan atau minimal pedagang kaya raya yang sekarang ini disebut sebagai milyarder. 

Jangan sedih duhai sobat yang belum pernah merasakan nikmatnya menjadi milyarder, karena di masa sekarang semuanya sama kayanya. Tak ada status sosial dan derajat berdasarkan darah biru dan harta melimpah. Makanya, di tanggal 20 Mei 2021 ini saya mengajak semua merayakan Hari Kebangkitan dengan cara sedikit berbeda. 

Tentulah tahu, kalau era ini ditandai dengan berdirinya organisasi sekolah di Batavia, yaitu sekolah Dokter-Jawa. Saya kurang setuju jika disebut mahasiswa Stovia karena baru Stovia baru menjadi universitas pada tahun 1927, dalam perombakan besar-besaran kurikulum di Indonesia. Sampai tahun 1919, Indonesia belum punya universitas.  Dokter-Jawa masih sekolah lanjutan kedua setelah ELS. Memang, perombakan kurikulum besar-besaran dibuat untuk mengakomodir kebutuhan akan tenaga ahli lulusan universitas. 

Kita bisa menggunakan kata "pelajar" yang lebih netral.

Pelajar Stovia tahun 1919, dari beragam usia. Batik yang dipakai menunjukkan status kebangsawanannya.


"Pendidikan tingkat universitas akhirnya didirikan pada tahun 1920 yaitu Techniche Hoogeschool atau sekoah tinggi teknik, di Bandung. Menyusul, tahun 1924, sekolah tinggi hukkum Rechtshoodechool dibuka di Batavia, dan STOVIA diubah menjadi Geneeskundige Hoogeschool atau sekolah tinggi kedokteran pada tahun 1927." (Ricklef, 2004:334)


Mereka yang beruntung mencium aroma kebangkitan

Masa itu pendidikan masih sangat diskriminatif karena langka. Hanya kota yang penting saja yang memiliki sebuah sekolah dasar Eropa atau ELS, yang menjadi pintu pembuka bagi generasi muda yang merasakan aroma perubahan. Jadi tidak semua kota ada. Ibu kota pemerintahan, kota perdagangan dan kota industri. Setidaknya kota dengan salah satu dari tiga di atas akan memiliki ELS. Kebetulan Jepara pernah menjadi kota perdagangan yang sangat ramai, dan ibukota karesidenan, sebelum dipindah ke Semarang.

Sekolah dasar ini sejatinya juga didirikan untuk anak-anak berdarah Eropa entah murni atau campuran. Anak-anak bupati (dan yang bawahan yang diberi rekomendasi) diizinkan belajar di sana dengan biaya dua kali yang dibayarkan oleh anak-anak Eurasia ini dan satu syarat mutlak, yaitu bisa berbahasa Belanda. Di bawahnya masih ada kasta yang lebih rendah yaitu anak-anak saudagar yang mampu membayar 4 kali lipat. Empat kali lipatnya....

Ilustrasi tentang sulitnya masuk sekolah dasar berkurikulum Barat dipaparkan dengan baik oleh Tirto Id di infografis di bawah ini, tentang sejumlah tokoh pahlawan Indonesia yang diupayakan dengan sangat agar bisa masuk.



Tentu saja ada sekolah lainnya - DIUSAHAKAN 1 distrik (sekarang namanya kecamatan) punya 1 sekolah – yaitu sekolah lokal dengan bahasa Melayu sebagai pengantar. Sekolah ini dipecah jadi dua pada tahun 1895 agar beban berat ELS sedikit terangkat; 1) Menjadi Sekolah Kelas Satu dengan kurikulum Barat; 2) Sekolah Kelas Dua dengan penyederhanaan yang luar biasa. 

Penyederhanaan yang luar biasa karena sekolah hanya 3 tahun, menggunakan daerah sebagai pengantar, hanya diajarkan cara membaca, menulis, sedikit aritmatika sederhana, agar bisa menghitung jika bekerja sebagai kepala desa dan bawahannya. Bahkan klerk atau juru tulis pamongpraja pun diupayakan harus lulusan ELS atau Sekolah Kelas Satu. 

Dengan perubahan kurikulum di sekolah Bumiputra Kelas Satu, maka syarat sekolah di Sekolah Dokter-Jawa dan sekolah guru tidak lagi harus dari ELS. Jumlah tahun yang harus dilewati agar lulus juga bertambah 3 tahun, dari kurikulum sebelumnya (kalau tidak salah sebelumnya 5 tahun). Yah, tetap lebih singkat belajar di ELS, memang. Tapi syarat masuk ELS cukup berat selain uang sekolah, yaitu sudah bisa berbahasa Belanda dengan lancar pada usia 6-7 tahun.


Kisah di balik Kebangkitan Nasional

Adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917), seorang dokter pemerintah di Yogyakarta yang juga redaktur majalan Retnadhoemilah "ratna yang berkilauan", yang ingin lebih banyak pemuda mendapatkan pendidikan Barat. Ia menghimpun beasiswa untuk itu dan hasilnya masih jauh dari harapan. Mirip seperti R.A. Kartini sepanjang tahun 1898-1904 yang terbentur tembok kekolotan masyarakat Jawa beberapa tahun sebelumya sampai ajal tiba. 

Tak mudah, memang, menghancurkan kukungan adat pada masa itu. Masih ditambah kecurigaan sesama penduduk lokal, sentimen agama, serta daya upaya para elit bangsawan yang belum siap pekerjaannya diambil alih generasi muda berpendidikan Barat. Jika Wahidin sebagai seorang dokter, laki-laki dan priyayi saja ditentang, bagaimana seorang perempuan yang selalu dipandang sebagai subordinat dengan tugas utama macak, masak, manak?

Wahidin memutuskan mengunjungi Sekolah Dokter-Jawa (kelak berganti nama menjadi Stovia), almamaternya dulu, untuk mencari dukungan dari anak-anak muda yang sedang bersemangat belajar. Harapannya langsung terkabul. Ia mengunjungi pada tahun 1907.

Foto sebagian siswa Dokter Jawa, sumber https://geheugen.delpher.nl


Tak sampai setahun, tepatnya pada bulan Mei 1908, diadakan pertemuan pertama yang melahirkan sebuah organisasi pelajar dengan nama Boedi Oetomo. Organisasi ini dalam bahasa Belanda disebut het shoone streven (ikhtiar yang indah), dan dalam bahasa Jawa mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia. Pertemuan perdana ini dihadiri oleh perwakilan siswa Dokter-Jawa, sekolah-sekolah guru, sekolah pertanian dan kedokteran hewan. Luar biasanya, pada bulan Juli di tahun yang sama, Boedi Oetomo mempunyai 650 orang anggota. 

Pada akhir tahun 1909, BO memiliki anggota sebanyak 10.000 orang. Bisa dipahami, karena organisasi ini menerima anggota dari berbagai kalangan, termasuk para priyayi, sehingga kemudian menjadi partai priyayi. 

Namun tampaknya hal ini malah menjadi senjata makan tuan karena BO tidak lagi berkembang, bahkan gesekan karena ras semakin muncul di permukaan. Padahal berkembangnya jumlah anggota dari seluruh pulau Jawa dan Madura membuat bahas Melayu digunakan sebagai bahasa resmi. Meskipun tentu saja, bahasa Jawa tetap menjadi prioritas, karena para pentolannya memang dari Yogyakarta, Surakarta dan Jawa bagian tengah yang memiliki bahasa Jawa bertingkat-tingkat. 

Tingkatan ini penting maknanya sesuai dengan karakter di masa tersebut yang sangat mengutamakan status....

Ricklef memberi penekanan:

“Rasa keunggulan-budaya orang Jawa cukup sering muncul di permukaan, bahkan di Bandung ada cabang-cabang khusus untuk anggota-anggota orang Jawa dan Sunda.” (Ricklef, hlm 344)


Posisi bahasa Melayu pada awal abad keduapuluh

Ehm, tampaknya kita harus kembali ke masa yang lebih lama. Saya akan mengutip sebuah pernyataan Kartini yang menarik, untuk menjawab harapan Stella agar buku berjudul Hilda van Suylenburg diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. 

Saat itu Kartini menjawab:

[Versi Armin Pane]

Tiada akan bergoena kitab Hilda van Suylenburg diterdjemahkan ke dalam bahasa Melajoe. Siapa jang membatja bahasa itoe, ketjoeali orang laki-laki? Masih sedikit sekali perempoean Djawa jang pandai membatja bahasa Melajoe. 

Versi ini sudah di-cut oleh Abendanon. Bahkan Pak Joost pun tak menemukan versi lengkapnya. Pak Joost Coté menambahkan:

And, for Hilda van Suylenburg to become influential they would first have to be prepared for it. They would simply regard it as a pretty story
Dan sebelum Hilda van Suylenburg menjadi berpengaruh, pertama-tama mereka harus dipersiapkan. Mereka hanya akan menganggapnya sebagai bacaan yang bagus”.

Saya setuju dengan Pak Joost bahwa “mereka” yang dimaksudkan oleh Kartini mengacu pada para laki-laki yang memiliki kemampuan membaca tulisan berbahasa Melayu. Jumlah mereka terbatas, yaitu orang-orang yang bekerja di pamongpraja dan mereka yang sudah belajar bahasa Melayu di Sekolah Kelas Satu; sebuah sekolah elit untuk kaum bumiputera. Sekolah Kelas Dua tidak mengajarkan bahasa Melayu.

Bukan kepekaan laki-laki yang jadi masalah, akan tetapi kesadaran bahwa perempuan juga adalah pejuang peradaban yang belum ada. Saat itu perempuan masih dipandang sebagai boneka cantik yang disimpan di rumah, jangan sampai dipandang apalagi dikagumi orang yang bukan keluarganya.



FYI, Hilda van Suylenburg yang sering disebut adalah sebuah novel, bukan Hilda de Booij née Boissevain yang menjadi salah satu sahabat pena Kartini dan sangat mendedikasikan waktunya untuk mencari dana Yayasan Kartini. 

Hilda van Suylenburg adalah novel karangan Ny. Goekoop-De Jong van Beek en Donk pada tahun 1897. Novel ini cukup laris, terbukti dalam 2 tahun telah naik cetak 5 kali. Kartini mengagumi pesan buku ini dan menyatakan, “Menurutku, HvS tetap menjadi Ratu dari semua tulisan tentang emansipasi wanita”, dan ia bertekad akan tetap membawa anaknya ke kelas saat mengajar karena tak mau meninggalkan kodratnya sebagai ibu.


Bahasa Melayu sebagai bahasa pasar

Saya akan mengajak sobat Cakrawala Susindra melompat ke masa yang lebih baru yaitu pada tahun 1930. Tentu tahu kalau maksud saya adalah pasca Soempah Pemoeda pada tahun 1928. Sekalian untuk memaparkan mengapa bahasa Melayu yang notabene sangat sedikit dikuasai namun akhirnya dipilih. Faktanya memang, pada kongres tersebut, di antara semua panitia, hanya satu yang menguasai sedikit bahasa Melayu. Bahkan pidato ketua kongres pun bercampur baur antara bahasa Jawa dan Melayu. 

Pemilihan bahasa Melayu, tentu saja menjadi sangat penting agar kongres tersebut tidak menjadi kongresnya orang Jawa, meskipun mayoritas yang datang memang orang Jawa. Bahasa Melayu sejak berabad lampau adalah bahasa pasar atau bahasa perdagangan, yang dipahami oleh pedagang dari aneka ras. Bahasa yang digunakan di banyak pulau di Semenanjung Malaya, dan digunakan untuk kegiatan transaksional di seluruh Nusantara. 

Pemuda peserta konggres


Bahasa Melayu sebagai lingua franca atau bahasa penghubung antar penutur yang tidak memiliki bahasa yang sama, di seluruh nusantara. Bahasa ini sudah dipakai sejak masa kerajaan.

Bahasa Melayu dipilih meski sedikit peserta Jawa yang hadir menguasainya, karena bahasa ini tidak memandang posisi dan derajat kebangsawanan. Berbicara dengan raja dan kacung menggunakan kosakata yang sama, bahasa tubuhnya yang berbeda. Misi menyatukan tanah air membutuhkan kerjasama semua lapisan masyarakat, sehingga bahasa yang tidak mengenal kasta akan menjadi senjata ampuh.

Kita toh harus belajar dari stagnannya Boedi Oetomo, salah satunya adalah adanya perbedaan status dan bahasa yang digunakan, karena masih memandang kepriyayian.


Bahasa Minoritas yang cepat dicintai

Masih di tahun 1930. Tahun ini saya pilih karena bisa dikatakan pada tahun inilah sensus penduduk benar-benar dilakukan secara benar. Setidaknya banyak benarnya daripada manipulasinya. Dan data tahun ini menjadi pegangan erat para peneliti sejarah. Ah ya, bukan saya pilih tapi semua literatur yang saya baca mengacu ke sana.

“Berdasarkan sensus nasional tersebut, populasi penduduk di Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1930 didominasi oleh suku Jawa, yaitu 47%. Jadi bisa dikatakan bahwa bahasa Jawa memiliki penutur paling banyak. Apalagi pada saat penyelenggaraan Soempah Pemoeda.”

47% dari berapa? Berdasarkan sensus tahun 1930, jumlah seluruh penduduk di Indonesia adalah 40,9 juta jiwa.

Pertanyaan yang diajukan oleh Montolalu dan Suryadinata (2007:39-40) adalah, jika menurut sensus tahun 1930, bahasa Melayu memiliki penutur sebesar 1,6%, bagaimana bahasa minoritas ini mengalahkan bahasa Jawa sebagai bahasa mayoritas?

Ini pertanyaan yang sangat menarik. Dan mereka menjawab, “Bahasa Jawa memiliki kerumitan tersendiri, karena harus memperhatikan posisi sosial penutur dan lawan tutur. Satu kalimat sederhana dalam bahasa Melayu mempunyai beberapa bentuk kalimat jika dituturkan ke dalam bahasa Jawa. Hal ini menyulitkan para penutur baru. Terlebih pada saat itu semua pemuda bersepakat bahwa mereka adalah satu, tanpa memandang posisi dan derajat kebangsawanan. Misi menyatukan tanah air membutuhkan kerjasama semua lapisan masyarakat. Dan bahasa Melayu tidak mengenal kasta.”

Mungkin kita perlu menambahkan argumentasi Nur Janti (2018) berjudul Perlawanan Lewat Bahasa, yang menyatakan bahwa, “Pada tahun 1930-1950an, penggunaan bahasa Indonesia adalah sebuah pilihan politis dan untuk menunjukkan rasa nasionalisme. Jika ditilik benar, pada masa ini, para pemuda tamatan sekolah Barat akan lebih fasih berbahasa Belanda daripada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mereka pun lebih mirip sastra Melayu, dan lebih banyak dipakai di saat formal atau berbicara dengan penutur yang tidak memiliki bahasa ibu yang sama.”

Agar lebih mudah memahami betapa tuanya bahasa Melayu, saya pinjam infografis ini saja.



Apapun itu, saya ingin mengucapkan rasa bahagia, karena sekarang kita sudah merdeka. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkarya. Jika para pemuda pada masa lalu gembira menyambut era baru, kita sekarang juga mengalami era baru yaitu digitalisasi semua lini, yang diinkubasi oleh pandemi. Rasanya tak bosan saya mengingatkan, jagalah data diri dan privasi kita, karena jejak digital itu abadi. Jangan asal isi data yang mengaku BLT, Sob!

Sebelum menutup tulisan ini, izinkan saya memperlihatkan mengapa tiba-tiba saya tergelitik menulis tentang ini. Awalnya karena saya berusaha “mengunyah” sedikit demi sedikit surat-surat Kartini dengan berusaha memahami teks-konteksnya. Meski sudah tamat membaca surat versi lengkapnya, namun rasanya kunyahan saya masih belum halus sehingga saya mengulang membaca buku setebal 900+ halaman itu. Saya baru sampai pada surat tanggal 6 November 1899 kepada Stella: 

Change will come to our entire Native society; the turning point has been preordained – but when? That is the big question. We cannot advance the hour of the revolution. Why should it just happen to be us, we who live in this wilderness, deep in this remote hinterland behind which no other lands lie, who should have such revolutionary ideas? My friends here say that we would be wise if we were to go to sleep for 100 years or so – when we woke then it would be the right time for us. Java would then have progressed to where we would like it to be. 

Terjemahan ala grotal-gratulnya:

“Perubahan akan datang di seluruh kehidupan Bumiputra; titik beloknya sudah ditakdirkan. Tapi kapan? Itulah pertanyaannya. Kami tak bisa mendahului masa revolusi. Mengapa harus kami, yang hidup di rimba ini, jauh dari hinterland, di ujung negeri, yang memiliki ide revolusioner ini? Teman-teman kami di sini mengatakan akan lebih baik jika kami tidur selama 100 tahun atau lebih, sehingga kami akan bangun di saat yang tepat. Tanah Jawa sudah berkembang sesuai yang kami inginkan.”

Saya tidak mengartikan hinterland sebagai Tanah Daratan seperti Armin Pane dengan kesengajaan, karena menurut interpretasi saya, Kartini tidak bicara tentang sembarang tanah daratan, akan tetapi tentang daerah yang disebut Vorstenladen atau daerah kerajaan (Yogyakarta dan Surakarta). Lebih spesifik, mungkin mengacu pada Pakualaman yang meski daerah kerajaan namun secara intelektual lebih Barat daripada daerah lainnya yang memiliki sekolah berkurikulum Barat.

Penasaran, apa agama Kartini? 

Suatu kebetulan saya sampai di sini pada tanggal 19 Mei, tepat setelah kutipan tentang Hilda van Suylenburg, dan saat ingat esoknya adalah Hari Kebangkitan Nasional, saya menulis ini. Padahal di antara keduanya, memiliki selisih 29 tahun kemudian. 

Saya ada tulisan menarik untuk menjawab pertanyaan Mengapa Kartini Bukan Cut Nyak Dien

Oh iya, jikalau ingin mempunyai akses buku surat lengkap Kartini setebal 900+ halaman, berbahasa Inggris, saya akan menulis dan membaginya secara khusus di postingan lainnya. Legal, ya, karena penulisnya yaitu Pak Joost memang mendedikasikan hasil penelitiannya untuk kita semua, dan beliau berharap banyak yang akan membacanya. Terima kasih Pak Joost yang sangat baik. …..

Selamat Hari Kebangkitan Nasional yang ke-113! Tema Harkitnas 20 Mei 2021 adalah "Bangkit! Kita Bangsa yang Tangguh!" Jadi, mari kita bergegas bangkit, menapak kembali kehidupan dengan optimisme yang lebih kental dengan sesekali menengok sejarah sebagai pegangan. Kalau penasaran dengan sejarah Kartini dan banyak fakta menariknya, silakan langsung ke kategori Kartini.









 

21 Komentar

  1. Hari Kebangkitan Nasional yang diharapkan bisa membantu kita makin cinta tanah air dan perjuangannya ya mba. Plus aneka bahasa daerah yang begitu unik dan kaya

    BalasHapus
  2. Aku jadi kilas balik belajar sejarah tentang Indonesia nih mbak, Indoensia dengan keaneka ragaman budaya dan bahasa yang membuatku selalu bangga jadi bangsa Indonesia.

    BalasHapus
  3. aku jadi inget momen kelas 3 SMA dimana aku memilih jurusan BAHASA instead of IPA atau IPS karena ketertarikanku akan literasi dan bahasa, lalu selama kelas 3 SMA itu aku juga belajar bahasa melayu

    BalasHapus
  4. momentum hari kebangkitan nasional ini bisa menjadi langkah kita untuk lebih mencintai tanah air dan bangsa ya mbak
    salah satunya dengan mengenali berbagai bahasa yang ada di Indonesia, termasuk bahasa melayu ini

    BalasHapus
  5. Momen hari kebangkitan nasional seharusnya membuat pemuda lebih mencintai dan mengenal tanah air yah mba. Btw soal bahasa Melayu ini kudu dilestarikan skrg mengingat bxk pemuda yang saat ini bahasanya kekinian

    BalasHapus
  6. Lengkap sekali Mba ulasannya, Sejarah yang penuh akan makna. Semoga dengan momen Hari Kebangkitan Nasional, kita semua, dan Para Pemuda khususnya, dapat lebih menunjukkan rasa Nasionalismenya.

    BalasHapus
  7. Duh serasa belajar sejarah kembali, seandainya metode belajar sejarah bisa seperti ini dan ngak harus text book dengan materi yang selalu berulang, bikin bosen dan wajar kalau anak-anak pada ngak semangat belajar soalnya ngak ada tantangannya hahaha. Senang bacanya mbak, jadi punya referensi lebih tentang sejarah yang harusnya diketahui banyak orang.

    BalasHapus
  8. Wah, terima kasih tulisannya, mba. Saya jadi belajar banyak tentang sejarah Bahasa Melayu di Indonesia. Memang belajar sejarah itu penting, ya.

    BalasHapus
  9. Masya Allah Mbak Susi .... sepertinya bisa masuk koran lho tulisan ini. Mbak Susi menulisnya setelah membaca berbagai literatur dulu.

    BalasHapus
  10. Sepertinya generasi muda saat ini harus banyak belajar dari semangat para pemuda di zaman dulu ya, Mbak. Semangat untuk maju dan menginginkan negerinya bisa lebih maju lagi.

    BalasHapus
  11. Kebetulan banget baru baca Bumi Manusia jadi merasakan suasana kehidupan para pemuda pribumi yang beruntung bisavbersekolah tinggi seperti Minke yang cerdas dan calon dokter..

    BalasHapus
  12. luar biasa tulisannya mba, saya jadi mengingat kembali apa yang pernah diajarkan pada masa sekolah dulu. btw untuk buku HvS apakah masih naik cetak ya mbak?

    BalasHapus
  13. Ternyata panjang sekali perjalanan Bahasa melayu ini bisa berkembang hingga saat ini.
    Dan sungguh apa jadinya Indonesia tanpa perjuangan dari para pahlawan pada masa itu.

    Tapi kalau merunut masa sejarah, ada hal yang tidak bisa kupahami, kak Susi. Pemahamannya hanya sebatas memaklumi "Oh, memang sudah begitu aturannya."

    Aku salut sama kak Susi yang menceritakannya dengan sangat humble, mudah dipelajari. Apakah mungkin sesi tulisan seperti ini menjadi akun tiktok atau youtube, kak?

    BalasHapus
  14. Bahasa Melayu mempunyai sejarah panjang ya, Mbak. Dan ternyata juga memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia.

    BalasHapus
  15. Kemarin tanggal 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional bagi saya ya seperti halnya hari-hari biasa. Berlalu begitu saja. Tapi setelah membaca postingan panjang ini, rasanya Hari Kebangkitan Nasional kemarin ada manfaatnya :)

    BalasHapus
  16. Merasa beruntung terlahir sebagai perempuan di era yang sudah maju seperti sekarang.

    Bisa berkarier selayaknya laki-laki. Perjuangan orang dulu mau belajar aja ngga mudah. Belum lagi deskriminasi

    BalasHapus
  17. Betul sekali, sekarang kita juga mengalami era baru yaitu digitalisasi semua lini, yang diinkubasi oleh pandemi. Yah kita memang harus bersyukur ya, Mbak. Kita hidup di era sekarang, yang meski cari sekolah enggak mudah juga, tapi tak sesulit dulu kalau mau masuk ELS :)

    BalasHapus
  18. Baca ini kerasa banget dibawa ke zaman dulu. Bagus sekali mbk ulasannya. Ternyata panjang sekali perjuangan bahasa melayu ini. Sering sering ya mbk nulis tentang sejarah ^^

    BalasHapus
  19. Saya pribadi termasuk salah satu yang jatuh cinta dengan bahasa melayu yang masih digunakan pada novel sastra lama dan pengen lebih banyak baca karya-karya serupa. Dari postingan ini pun saya beneran jadi pengen ngulik bahasa melayu lebih dalam lagi :))

    BalasHapus
  20. Jadi serasa baca novel sastra nih baca postingan ini, bahasa melayu ini alami perjuangan banget yah dan saya seneng banget mendengar orang yang ngobrol atau bicara dengan bahasa melayu.

    BalasHapus
  21. keren mbak postingannya, saya jadi tahu asal-usul bahasa Melayu. Saya doakan semoga bisa nulis ulasan surat Kartini mbak, kayaknya keren tuh. Dari tulisan ini saja saya makin semangat baca sejarah yang biasanya saya enggan

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)