Usia 40 tahun punya bayi? Memang bisa bikin banyak habit terhenti. Apalagi saya juga sambil merawat ibu yang tidak dapat berjalan dan hanya tangan kiri yang dapat digunakan. Setelah itu masih ditambah covid 19.
Masih butuh alasan lagi? Setelah usia 40 tahun, job keluar kota yang awalnya langka jadi sangat sangat langka. Pitching job menambahkan syarat "maksimal usia 40 tahun".
Fix, saya jadi kaum pingitan sejak saat itu. Malas mengisi medsos apapun, dan blog Cakrawala Susindra banyak nganggurnya, selama 7 tahun ini.
Jadi, itulah alasan saya ikut banyak kelas menulis. Anak sudah berusia 6,5 tahun, sudah aman membangun habit menulis lagi. Dan ya, memang itulah yang terjadi sekarang ini. Bulan September ini beberapa buku antologi saya launching seperti hadiah ulang tahun. Setidaknya bisa disebutlah, Dari Garasi ke Galeri, Pernikahan Perak, dan Sedyakala Rasa: Rasa yang membawamu Kembali Pulang.
Bulan ini juga 2 buku solo saya masuk dapur cetak, menunggu ISBN. Semua sudah clear termasuk pembiayaan. Bismillah lancar.
Kenapa serasa selebrasi??? Padahal niatnya mau menulis refleksi zoom meeting dengan Pak Setyo Hajar Dewantoro. Beliau adalah penulis buku dan pakar mindfulness. Bukunya yang sangat menarik adalah Suwung.
Oh, iya, zoom kala itu, Sabtu siang 13 September 2025, juga merupakan hari ulangtahun saya yang ke-46. Luar biasa sekali rasanya.
Di diskusi yang terasa hangat itu, saya mempunyai beberapa pesan yang menancap. Pesan yang membuat saya berani jujur menulis selebrasi di atas. Padahal, bisa dengan mudah disalahpahami pembaca.
Sebelum salah paham berlanjut, saya uraikan, ya.
1. Menulis sesuatu yang dikuasai
Saat Pak Setyo menceritakan tentang proses lahirnya buku Suwung: Ajaran Rahasia Leluhur Jawa, saya mendapat kesan bahwa buku itu lahir dari seorang master spiritual. Inilah yang membuat buku tersebut menjadi sangat laris manis.
Beliau bisa menjelaskan tentang hakikat Suwung sebagai konsep spiritual leluhur Jawa. Suwung berarti "kosong" atau "hampa". Tetapi bagaimana suwung dapat dipahami secara saintifik dan filosofis? Siapa yang bisa kalau tidak menguasai.
Kekosongan mutlak dan prinsip meditasi, berlanjut sampai mencapai kebahagiaan dan transformasi diri, setelah dikuasai, hidup akan jadi enak saja berjalan. Prinsip ini menarik banyak sekali pembaca setia yang membeli buku tersebut dan merasakan manfaatnya.
2. Menulis dengan jujur tapi juga banyak membaca referensi
Saya ingat saat Covid lalu, banyak keluhan tentang matinya kepakaran dkarena tiba-tiba banyak orang muncul sebagai pakar. The Death of expertise, istilahnya.
Saat akan menjelaskan tentang menulis harus jujur tiba-tiba saya ingat cerita Pak Setyo pernah membuat sebuah buku laris yang menggunakan banyak studi pustaka sebelum menulis. Risetnya banyak sehingga bisa menulis seperti seorang ahli.
Sebagai blogger dan konten kreator lawas, saya tahu bagaimana sebagian dari kami berlagak pakar bahkan membuat kelas-kelas daring. Padahal tidak ahli dan yang disampaikan masih dangkal. Di buku pun banyak juga yang menulis dengan asal apalagi saat pintu ISBN terbuka sangat lebar. Walhasil sekarang sulit sekali mengajukan ISBN.
Zoom kala itu mengingatkan kami, jujurlah saat menulis, karena kejujuran itu akan keluar dalam bentuk tulisan, yang bisa mengubah hidup orang lain. Maka, jadi penulis harus jujur. Jujur dengan apa yang ditulis.
3. Jadi penulis harus persisten dan konsisten
Saatnya level up. Itu pikiran saya saat diterangkan tentang persisten dan konsisten dalam menulis. Pasalnya saya baru melatih diligen dulu saat ini.
Saat kelas Bunda Produktif sampai pada materi tentang karakter yang dikembangkan dalam habit, saya memilih melatih karakter diligen. Secara umum seperti ini:
Diligen (ketekunan, kedisiplinan, kesungguhan) → ini fondasi awal.
Diligen menuntut konsistensi: menyediakan waktu, menjaga ritme, duduk menulis meski tidak selalu ada mood. Tanpa diligen, kebiasaan menulis sulit terbentuk, karena menulis perlu latihan berulang seperti otot yang dilatih.
Setelah jujur menulis tentang karya saya di atas, yang merupakan hasil dari diligen, saya harus melatih persisten dan konsisten sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Setyo. Maaf saya membaliknya jadi konsisten dan persisten, ya.
Konsisten → pola yang terbentuk dari diligen.
Konsistensi adalah hasil dari repetisi yang berkelanjutan. Dia adalah hasil dari proses diligen yang sebelumnya. Sebagai contoh: karena rajin (diligen), akhirnya dalam 3 bulan saya terbiasa menulis tiap pagi tanpa bolong. Itu artinya konsistensi mulai terbentuk.
Fun fact-nya, dari konsisten menulis sehari 1 bab untuk sebuah kelas, saya jadi punya 2 buku diary penulis, yang sengaja saya buat dengan konsep buku saku, sebagaimana yang saya ceritakan di awal.
Persisten (kegigihan, daya tahan, pantang menyerah) → ini melanjutkan dan memperkuat.
Persisten dibutuhkan ketika menemui hambatan, misalnya writer’s block, kritik pembaca, penolakan penerbit, atau rasa jenuh. Kalau diligence membangun rutinitas, konsisten adalah pola rutinitas itu sendiri, maka persisten menjaga agar rutinitas itu tidak berhenti ketika ada tantangan.
Mudahnya:
- Diligen membangun fondasi.
- Konsisten menjadikannya pola.
- Persisten menjaga agar pola itu tidak runtuh.
4. Belajar Mindful Writing dari ahlinya
Kalau ditanya berapa persen saya paham, saya bisa bilang cukup banyak pahamnya tapi eksekusinya nanti dulu. Di atas saya sudah bilang kalau saya baru tahap diligen. Belum punya habit yang membentuk pola menulis harian yang menetap.
Persisten? Sudah lumayan ada sebagai pendahuluan. Setidaknya saya sudah mudah mengatasi writer's block dan enjoy saja saat menulis. Tapi semuanya kan masih di tahap awal, ya. Beda jauh dengan Pak Guru.
Masih kocar-kacir dan kelas Mindful ini akan jadi pengikatnya.
Apa itu Mindful Writing? Semoga saya tidak salah menerjemahkan penjelasan Pak Setyo, bahwa menulis dengan teknik ini artinya menulis sajalah. Menulis sebagai latihan kesadaran diri. Tulis saja semua setelah diri sudah menyiapkan diri. Waduh agak belibet.
Maksudnya, saat tiba waktu menulis, siapkan diri untuk menulis, dan tulislah apa saja yang ingin ditulis. Jangan berhenti untuk mengedit. Tuangkan saja semua ide yang ada. Membiarkan kata-kata mengalir dulu, revisi dilakukan setelahnya.
Saat menulis, libatkan juga kesadaran diri, pemahaman diri, termasuk perasaan, dan pikiran. Bila perlu pergi ke lokasi yang memudahkan kita menulis.
Cara ini menurut saya pribadi membutuhkan banyak bacaan. Kebiasaan membaca harus kencang. Bila perlu sudah menyiapkan banyak kutipan dulu. Dan hal ini disinggung Pak Setyo di awal saat menceritakan proses beliau menulis buku.
Semoga refleksi saya ini tidak melenceng, ya. Selamat membaca artikel Mindful Writing lainnya.
0 Komentar
Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)