Mewujudkan Mimpi R. A. Kartini: Buku yang Dibaca Minggu Ini

Menjadi generasi tua. Menjadi jelita, jelang lima puluh tahun. Rasanya beda. Di antara pemahaman yang lebih luas, ada sesak dalam dada melihat perubahan yang terjadi pada generasi muda, bahkan yang termuda. 

Foto dokpri


Menggunakan kacamata ini memudahkan saya menangkap kegetiran dalam surat Soematri Sosrohadikoesoemo, adik Kartini yang memiliki usia 9 tahun lebih muda. Ia masih rajin mengirim surat kepada Rosa, bahkan setelan suaminya meninggal. Meski tahu kesehatan Rosa sudah memburuk dan tak lagi sanggup membalas, suratnya tetap datang mengabarkan perubahan yang terjadi di Indonesia (penyebutan dimodernkan).

Surat-suratnya memberi narasi deskriptif yang memberi pesan ceria. Mungkin memang sesuai karakternya. Ia adik perempuan bungsu, yang paling banyak menikmati "kemerdekaan perempuan". Ia menjadi anak gadis pertama yang lulus Klein Ambtenaar Examen atau ujian pegawai rendah. Ujian yang pada waktu itu hanya bisa diikuti jika lulus ELS (Europese Lagere School). Setelah ada HIS (Hollandse Inlandse School), tes ini bisa diikuti dengan ijazah dari HIS.

Fakta menariknya pada tahun 1950an, sejarah Kartini pernah dinodai oleh sangkalan, gara-gara ia tidak memiliki ijazah KAE seperti Soematri. Ini bisa jadi postingan sendiri... 

Dan mengapa pula saya sudah memulai cerita tentang buku yang saya baca minggu ini dengan tulisan seberat ini. Hoho, maafkan, sahabat Susindra. Terlalu semangat. Maklum, saya baru sampai ke surat Soematri saat seusia saya dengan perubahan zaman yang sedemikian cepat, tegas, dan menakutkan.

2 minggu ini saya harus menyantap buku Realizing the Dream of R. A. Kartini: Her Sister's Letters from Colonial Java. Bukan hal yang mudah karena bahasa Inggris saya sedang-sedang saja. Masa tenggat terakhir baca adalah besok, dan mulai Senin harus masuk ke data-data yang dibutuhkan untuk menulis buku. 

Jadi saya memang tak ada waktu untuk menoleh ke buku lain yang bisa dilaporkan sebagai buku bacaan. Kecuali.... draf buku yang siap cetak, sebagaimana cerita saya sebelumnya. 


Mewujudkan Mimpi R. A. Kartini

Bupati Japara, Sosroningrat, punya 11 anak. Rasanya sudah lazim diketahui. Yang mungkin jarang diperhatikan adalah, beliau memiliki 6 orang putri: Soelastri, Kartini, Roekmini, Kardinah, Kartinah dan Soematri. Merekaenam saudari diberi kesempatan mendapatkan pendidikan yang sama, hanya memang pemahamannya berbeda. 

Mewujudkan Mimpi R. A. Kartini
versi mock up

Kasus paling unik adalah Soelastri, yang entah ia benar-benar pernah sekolah di ELS ataukah ia seperti gadis bangsawan yang juga bersekolah seperti Kartini, namun hanya untuk memasuki bursa pernikahan ideal. Kita kesampingkan ini saja, karena memang faktanya, tak pernah ditemukan surat Soelastri. 

Tetapi memang benar adanya, gadis bangsawan generasi sebelum Kartini sudah ada yang mengenyam pendidikan, hanya saja tidak punya cita-cita memerdekaan perempuan lainnya. Ini yang membuat beliau jadi pelopor sekaligus jadi perempuan pertama yang menjadi Pahlawan Nasional.

Buku Realizing the Dream of R. A. Kartini: Her Sister's Letters from Colonial Java, atau Mewujudkan Mimpi R. A. Kartini: Surat-Surat Sang Adik dari Jawa Masa Kolonial, mengumpulkan surat-surat yang ditulis oleh Roekmini, Kardinah, Kartinah dan Soematri. Di antara surat mereka juga ada beberapa surat dari suami mereka, mewakili istrinya.

Pak Joost Coté melakukan pekerjaan yang luar biasa, karena mengumpulkan dan menerjemahkan surat-surat mereka ke dalam bahasa Inggris dan membukukannya pada tahun 2008. Buku inilah yang saya baca 2 minggu ini, dan saya catat pemikiran-pemikiran para perempuan progresif ini. 

Meski jika diukur, Kartini melejit sangat jauh angka progresifnya, namun keempatnya [minus Soelastri] dengan cara mereka bisa mewakili kaum perempuan berpikiran maju.

Mereka para penerus Kartini. Roekmini sebagai sosok terdekat, bahkan "bayangan Kartini" jelas memiliki pemahaman paling luas tentang perjuangan Kartini dan menjadi penerus utamanya. Ia langsung mewarisi sekolah yang didirikan di beranda rumah Bupati Jepara, ketika persiapan pernikahan tak mengizinkan Kartini menjadi guru lagi.

Setelah Kartini meninggal, Roekmini masih menjadi penerus utama dengan membentuk ulang Semanggi van Japara atau Het Klaverblaad. Sebelumnya, Kartini, Roekmini dan Kardinah adalah Semanggi Japara yang pemikirannya tertuang di surat dan media cetak. 

Setelah daun semanggi hanya tersisa satu, Roekmini mengajak Kartinah dan Soematri mengisi ruang kosong dan vokal membuat seruan di koran De Locomotief. Pada tahun 1907 mereka membuat undangan terbuka pada seluruh pemuda Jawa (jong Java) untuk bersatu memperjuangkan nasibnya.

Foto Soematri & suami


Di antara keempat penerus Kartini, Soematri yang paling menonjol dan paling mendekati Kartini. Joost memujinya "seorang pengamat yang tajam melihat perubahan kehidupan di sekitarnya" (she is an astute observer of the changing life around her)

Adriani yang bertemu dengannya pada tahun 1913 hanya Soematri yang paling dekat secara ideologis dengan Kartini. Oh ini kalimat saya sendiri, yang benar adalah:

Her character also seems the closest to Kartini’s, at least in the outgoing liveliness that Nicolaus Adriani had noted, if not in the intellectual depth revealed in Kartini’s writing. [Kepribadiannya pun terasa paling mirip dengan Kartini, terutama pada sifatnya yang ceria dan terbuka, sebagaimana pernah dicatat Nicolaus Adriani, meski tidak sedalam Kartini dalam hal intelektual.]


Kutipan buku Realizing the Dream of R. A. Kartini: Her Sister's Letters from Colonial Java

Kutipan ini menjadi kutipan Pak Joost juga di buku tersebut. Kebetulan saya sangat yo'i dengan kutipan terpilih tersebut.

Kutipan pertama:

Times have changed, Moedertje, they bring with them sadness and suffering. You see I am gradually becoming part of that older generation who sees with regret how everything has changed, at least according to my old-fashioned opinion. Zaman sudah berganti, Moedertje, bersama itu datang pula kesedihan dan penderitaan. Engkau tahu, aku mulai merasa menjadi bagian dari angkatan tua yang hanya bisa memandang dengan pilu semua perubahan ini, dengan sudut pandangku yang mungkin terkesan kuno. [Soematri pada Rosa, 24 November 1932


 

Kutipan kedua:

People no longer question whether they should send their daughters to school. We have come a long way, but whether people are happier as a result?  "Orang-orang tak lagi mempertanyakan apakah mereka harus menyekolahkan putri-putri mereka. Kami telah menempuh jalan panjang, tetapi apakah orang-orang menjadi lebih bahagia karenanya?” (Surat Soematri pada Rosa Abendanon, 20 Januari 1935)


Kutipan ketiga:

. . . We are of course the oldies, whom the young ones no longer feel comfortable with. Our parents left us with very pleasant memories of home that we have carried with us as a precious possession throughout our lives, but now that we ourselves are confronted with the fact, many parents don’t know what to do. The chaos that has resulted from this has led in many cases to the need to reestablish a sense of family life.  Kami saat ini tentu saja termasuk generasi tua yang tak lagi akrab dengan generasi muda. Dulu orang tua kami mewariskan kenangan  berupa rumah yang hangat, yang kami simpan seumur hidup seperti pusaka. Namun ketika kami sendiri jadi orang tua, banyak [dari kami] yang tak tahu harus bagaimana. Akibatnya, timbul kekacauan yang mendorong perlunya membangun kembali suasana hidup keluarga. [Soematri pada Rosa, 18 Januari 1936]

 


Perubahan besar di tahun 1930an vs tahun 2025

Saat ini saya sudah masuk usia jelita. Bukan digital savy seperti anak-anak saya. Generasi kami masih memiliki banyak kenangan tentang kehangatan keluarga adalah makan bersama, mencangkul tanah  dan memanen bersama, bahkan saat merenovasi rumah pun, kami sekeluarga masih guyub, dan hangat.

Beberapa hal di atas kami pertahankan, salah satunya adalah makan bersama satu meja. Bahkan dulu, saat anak-anak kecil, suami yang bekerja agak jauh pun memilih makan siang semeja di rumah. Sampai sekarang, dengan 1 anak dewasa, 1 remaja dan 1 anak SD, kegiatan ini masih bertahan. 

Terjemahan dari kehangatan keluarga yang paling dini yang bisa saya atur. Setidaknya sedikit membentengi anak-anak di era disrupsi dan post-truth saat ini. Bisa dilihat bahwa kaum oldies di abad manapun, selalu mengingat keluarga yang pertama kali ketika memandang cepatnya perubahan dunia.



Apa yang terjadi pada tahun 1930an? Seharusnya sih ditarik ke tahun-tahun sebelumnya karena perubahan tidaklah peristiwa tunggal. 

Dalam konteks sejarah global, pada tahun 1930an terjadi peristiwa-peristiwa yang ditulis sebagai:


1. The Great Depression (Depresi Besar)

Di Amerika Serikat dan banyak negara lain, 1930-an identik dengan krisis ekonomi parah setelah runtuhnya pasar saham 1929. Dampaknya terasa global: pengangguran tinggi, kemiskinan, dan perubahan kebijakan ekonomi.


2. Interwar Period (Masa Antara Perang)

Disebut begitu karena periode ini berada di antara Perang Dunia I (1914–1918) dan Perang Dunia II (1939–1945). Banyak negara bergejolak secara politik, ekonomi, dan sosial.


3. The Age of Extremes (Era Ekstrem)

Sejarawan Eric Hobsbawm menyebut abad ke-20 sebagai “Age of Extremes.” Khusus 1930-an, ekstremisme politik tumbuh: fasisme di Jerman-Italia, komunisme di Uni Soviet, nasionalisme di berbagai negara.


4. Era Radio dan Hollywood Klasik

Dari sisi budaya, 1930-an dikenal dengan kejayaan radio sebagai media massa baru dan lahirnya “Golden Age of Hollywood,” di mana film bersuara mulai mendunia.


Dalam konteks sejarah nasional Indonesia, berbagai peristiwa membentuk era atau zaman yang oleh sejarawan disebut masa transisi, yaitu:


1. Masa Pergerakan Nasional Radikal – Masa Moderat

Dalam periodisasi sejarah, 1920-an dianggap sebagai masa pergerakan radikal (PNI, Sarekat Islam, PKI), lalu memasuki 1930-an banyak tokoh ditangkap/dibuang sehingga pergerakan berubah menjadi lebih moderat, lewat jalur pendidikan, pers, dan organisasi sosial.


2. Masa Kebangkitan Intelektual Pribumi

Disebut demikian karena politik etis mulai berbuah: muncul generasi terpelajar yang mengisi ruang-ruang strategis seperti guru, dokter, pengacara, penulis, dan pegawai pemerintah.


3. Masa Pujangga Baru

Dari sisi kebudayaan, 1930-an identik dengan lahirnya angkatan Pujangga Baru (1933) yang membawa semangat modern, nasionalis, dan rasional dalam sastra.


4. Masa Depresi Ekonomi

Disebut begitu karena dampak krisis global (Depresi Besar 1929) terasa di Hindia Belanda sepanjang 1930-an: jatuhnya harga komoditas, banyaknya pengangguran, dan beban ekonomi rakyat.


5. Masa Pergerakan Nasional Kedua

Beberapa sejarawan memakai istilah ini untuk menekankan bahwa setelah fase awal pergerakan (1908–1920-an), pada 1930-an perjuangan masuk ke fase baru yang lebih sistematis, terutama lewat pendidikan dan organisasi.


Bisa dilihat bahwa kegetiran dalam penggalan surat di atas menjadi lebih nyata setelah melihat konteks sejarahnya, bukan? Dan suatu kebetulan jika surat itu dikirim pada usia yang tak banyak berpaut dengan usia saya saat ini, sehingga menyuarakan hal yang tidak banyak berbeda.


Bisa dianggap semi-review alias bedah buku abal-abal, ga ya? Silakan baca Realizing the Dream of R. A. Kartini: Her Sister's Letters from Colonial Java, edited by Joost J. Cote, Ohio University Press, 2007. 

Jika tidak punya bukunya dan berminat membaca, silakan unduh di web Monash University atau di ProQuest Ebook Central

0 Komentar