Pagi masih bermalasan karena dingin. Angin terlalu kencang menghantam pohon sehingga dahan-dahan saling bertumbrukan, menghasilkan suara khas. Sesekali ada suara benda kecil jatuh ke tanah atau koprol dulu dari atap deklit di kamar mandi yang pendek. Saya menikmati pagi yang “berisi” sambil berkerut dahi. Laptop sudah menyala beberapa menit lalu. Apa yang akan saya katakan pada diri saya 10 tahun mendatang? Tugas One Day One Post minggu keempat ini sangat menantang.  Entah siapa yang mengusulkan, saya ingin "kenalan dengannya" membaca versinya.

Surat Kepada Diriku 10 Tahun Mendatang


Mungkin saya bisa membuat diri saya 10 tahun mendatang itu sebagai sosok yang telah mencapai semua impian. Atau minimal sudah dekat pada perwujudan mimpi. Imajinasi saya liar dan menjadi. Apa impian saya 10 tahun mendatang? 

Cukup lama saya terdiam. Bukan saya tak punya cita-cita atau impian. Bukan saya gagal memvisualkan. Takdir sering menjadi penghalang. Saya tak bisa lepas dari bayang. Bukan tak mau dan tak mampu tapi memang tak bisa mungkin pitulikur alasan. Alasan itu mudah dibuat. Hanya satu yang tak bisa: keluarga. Ini alasan klise atas ketidakmampuan saya menaklukkan beberapa tantangan.

Kita tak punya hak memilih dilahirkan oleh siapa, dibesarkan siapa lalu melahirkan dan membesarkan berapa. Itu semua adalah jalinan kuat yang menjadikan kita seperti sekarang ini. Sedemikian unik sehingga ak ada satu pun manusia di dunia ini yang sama persis.

Imaji terbentuk. Baiknya saya segera menulis surat padanya sebelum buyar.


_*_*_*_*_*_

Dear Me,


Ini adalah aku, harapanku, mimpiku, pemikiranku, pada tanggal 9 Oktober 2020. Jika pengaturan pos benar dan sesuai tata laksana, maka kamu akan menerimanya pada tahun 2030. Tak seberapa penting tanggalnya. Tidak. Saya tidak sesaklek itu dalam berpikir.

Aku membayangkan kamu sedang duduk di sebuah kabin di bawah pohon sambil memandang sungai di dekatmu. Sungai dengan kelokan dan bebatuan yang masih belum diwarnai pelangi. Rumahmu berbahan kayu dengan arsitektur sakkarepmu. Di tanganmu ada gawai yang gambarnya bergerak dinamis, menunjukkan gambar sebuah universitas besar. Di situ ada dua buah hatimu. Si tengah kuliah di tempat kerja kakaknya. Saya sulit membayangkan dua anak itu terpisah. 

Di sebelahmu, ada pujaan hatimu yang duduk merokok sambil melihat berita terkini. Di bagian lain ada si bungsu yang masih memakai sepatu. Dia harusnya kelas 6 SD sekarang. 


Di belakangmu ada rak buku. 10 buku  di antaranya adalah buku karyamu. Di antara barisan majalah ada jurnal-jurnal tulisanmu. Beragam buku tegak tak beraturan tingginya. Kamu bukan pemuja kerapihan. Kamu suka meletakkan benda sesuai fungsinya. Jadi pastilah seperti sekarang ini, susunan bukumu menyesuaikan tema buku. Orang yang melihatnya akan merasa bahwa susunannya berantakan. Atau.... mungkinkah di masa mendatang, ukuran buku sejarah diseragamkan?

Aku tidak yakin imajiku ini sesuai dengan keadaanmu saat ini. 

Mungkin kamu akan menangis karena keadaanmu beda dan surat ini mengingatkanmu pada mimpi-mimpi yang pernah kamu susun kembali. Kalau itu terjadi, ayolah. Kembalikan dirimu, kuatkan fisikmu dan raih buku sejarah terdekatmu. Mulailah membaca sambil mengingat ribuan informasi yang mungkin sekarang sedang dorman di otak kecilmu. Tak sulit untuk kembali pulang karena kamu pernah mencintai dunia penulisan yang satu ini.

Ingat selalu quote-mu:

“Aku adalah penentu sejarahku sendiri dan sampai mana aku akan dikenang oleh masa.”

DnB sudah menyusul ke dapur. Kamu ingat mereka selalu bertanya hari ini makan apa. Usia 17 dan 14 adalah usia mudah lapar, dan sarapan pagi adalah awal kebersamaan. Kuharap kamu masih melakukan tradisi ini sampai sekarang.

_*_*_*_*_*_*_


surat ke masa depan



Aih, selesai sudah, tugas OWOP minggu ini. Mungkin ada yang menganggap sekadar menggugurkan kewajiban, termasuk tuduhan saya sendiri. Tapi setidaknya saya berusaha. 

Kalau OWOP ini menurutmu menarik, coba deh, baca sebelumnya:
1. Pengarang yang menginspirasi saya