Tanggal 22 Desember selalu diperingati sebagai Hari Ibu sejak penetapannya di Kongres Perempuan kedua. Mengapa ditetapkan hari khusus salah satunya adalah sebagai salah satu barometer capaian perjuangan para perempuan. Setidaknya bagi mereka yang tidak berjuang di jalan kemerdekaan perempuan akan mengingatnya setahun sekali. Ini menurut saya. 

Catatan Sejarah Perempuan di Dunia Patriarki




Perempuan, makhluk berpuki yang dalam sejarahnya sering menjadi second sex di dunia patriarki, bahkan sebelum ada Islam. Dunia patriarki memberi kesempatan bagi laki-laki untuk mendominasi semuanya. Jika laki-laki cukup baik hati, akan ada beberapa perempuan atau wanita yang maju ke depan. 

Unsur patriarki di bidang keagamaan

Unsur patriarki yang kental juga muncul di banyak agama, tak terkecuali agama Islam dan Kristen. Selama ini kita selalu menuding agama Hindu dan Budha yang berkasta saja, kan? 
Yah, bahkan sejarah pun tak lepas dari unsur patriarki termasuk ilmu pengetahuan lainnya. Sangat sedikit perempuan yang berhasil menggoyahkan tatanan yang sudah ada sejak zaman dahulu kala sehingga kita semua nyaman dengannya. Masih sedikit feminitas yang mewarnai aneka teori ilmu pengetahuan, termasuk yang membahas tentang 'hati'.



Banyak teori psikologi yang bersifat laki-laki, semua ilmu pengetahuan, juga catatan sejarah yang kita pelajari di sekolah.

Dalam agama yang saya anut, misalnya, ada penulis tentang perempuan yang menyatakan, "Masjid-masjid (tua) seakan diciptakan untuk laki-laki sehingga perempuan perlu dibuatkan sebuah ruang shalat di samping. Penataan arsitektur masjid berupa pengisolasian ini memperkuat marginalitas perempuan."
Kata 'tua' saya tambahkan dari hasil pengamatan di masjid sekitar. 

Tentu saja hal ini bisa dibantah, karena tak semua masjid punya ruang samping untuk shalat perempuan, dan ruangan ini menjadi solusi agar terhindar dari percampuran serta fitnah. Khawatir kita sulit menundukkan pandangan karena ada jemaah yang glowing kecantikan/ketampanannya.
Silakan amati apakah ada kecenderungan, meski sedikit sekali di lingkungan sekitar kita? 
Oh, ini contoh kecil saja tentang patriarki yang memang ada dan lekat dengan kita di kehidupan sehari-hari. 
Jikalau tidak merugikan, maka tak ada yang perlu diubah, kan? Jika sudah menghambat peran perempuan? Atau malah mencederainya? 
Yuk kita menuju ke sejarah perempuan yang memang tercatat dan diajarkan di sekolah saja. Yaaa... meski versi saya mungkin akan menjadi sisi lain bagi yang belum pernah membacanya.

Patriarki menjadi pondasi sejak dahulu kala.... sehingga catatan sejarah pun 'bersifat laki-laki'

Kisah perjuangan sulit lepas dari sosok laki-laki karena memang dunia ini tak bisa melepaskan diri peran mereka. Di antara sederet nama akan ada satu dua tiga perempuan istimewa. Hal ini tak bisa lepas dari peran keluarga (ayah atau suami) dan kemampuan sosok istimewa tersebut dalam mendobrak pintu halangannya.
Jika kita tarik jauh ke belakang dari prasasti dan kitab tua seperti Negarakartagama, kita akan mengenal 3 nama perempuan di antara 53 raja yang tercatat. Namanya:
  1. Srī Iśānatunggawijaya (tanpa tahun), 
  2. Śrī Tribhūwanattunggadewī Jayawiśńuwarddhanī (1328-1350 M),
  3. Dewi Suhitā (1429-1447). 
Mereka mewarisi kekuasaan (kerajaan) dari ayahnya dan terbukti mampu. 
Para pendobrak pintu patriarki
Para pendobrak pintu patriarki


Abad modern (mulai tahun 1551 - kedatangan bangsa Barat ke Timur) di Nusantara juga mencatat beberapa nama perempuan istimewa yaitu Ratu Kalinyamat, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, dan lainnya. 
Apakah sobat Cakrawala Susindra menyadari dari 3 nama di atas, 2 di antaranya menggunakan nama laki-laki?

Lalu kita akan memasuki era yang lebih modern lagi, namun Indonesia belum merdeka. Saya mengambil nama 14 perempuan yang menjadi pondasi Kongres Perempuan, sehingga kita akhirnya memperingati Hari Ibu. Silakan cermati:
  1. Nyonya R.Ay. Sukonto (kelahiran tahun 1989, nama kecil Siti Aminah, puteri dari R. Ng. Duryat Sastromijoyo)
  2. Nyonya Siti Munjiah (puteri dari Raden Kaji Lurah Hasyim)
  3. Nyonya Siti Sukaptinah Soenaryo Mangoenpoespito (kelahiran 1907, putri R. Penewu Abdul Wahid Mustopo di Kesultanan Yoyakarta (setingkat camat))
  4. Nyi Sunaryati Sukemi (kelahiran 1907, putri Kromosarjono, seorang penghulu di Tuban)
  5. Raden Ayu Catharina Sukirin Harjodiningrat (kelahiran 1904, putri putera Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Sosroningrat)
  6. Nyonya Sujatin Kartowijino (kelahiran 1907, cucu Ario Tumenggung Djojodirono)
  7. Nyi Hajar Dewantoro (nama kecil Raden Ajeng Sutartinah, kelahiran 1890, puteri ke-6 Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Sasraningrat)
  8. Nyi Driyowongso (nama kecil Marakati, keluarga tak mampu dari Pasuruan)
  9. Nyonya Alfiah Muridan Noto (1906, Raden Ngabehi Abdul Kadir, abdi dalem Keraton) 
  10. Nyonya Badiah Muryati Goelarso (1907 istri dokter)
  11. Nyonya Hajinah Mawardi (1906, putri Haji Mohammad Narju, pengusaha batik kaya)
  12. Nyonya Ismudiyati Abdul Rachman Saleh (istri almarhum Prof. Dr. Abdul Rakhman Saleh, putri school opsiner (penilik sekolah)
  13. Nyonya R.A. Suryo Mursandi (1908, nama kecil R.A. Amelia Prihatin, putri RM . Mangunrencoko.
  14. Raden Ayu Bintang Abdulkadir (kelahiran 1899, puteri Raden Ario Notoadiningrat)

Silakan cermati kembali nama-nama beliau ini. Meski ada embel-embel 'nyonya' namun yang tertera adalah nama suaminya, atau gabungan keduanya. Inilah salah satu bukti bahwa sejarah pada masa sebelum-sebelum ini memang dibuat oleh sejarawan laki-laki. Jadi semua serba maskulin.

Tambahan informasi yang saya sertakan merupakan temuan saya yang jujur saja, tak mudah ditemukan. Jarang sekali yang masih teringat nama asli mereka yang sepenuhnya menggunakan nama suami.
Saya hanya ingin membuktikan bahwa kebangsawanan juga berperan penting dalam perjuangan perempuan sehingga jangan selalu sinis jika berbicara tentang sejarah Kartini. 


FYI, dari 14 nama di atas, ada yang memang bangsawan berdarah biru seperti Nyi Hajar Dewantara dan ada satu yang paling papa yaitu Nyi Driyowongso. 
Nyi Driyowongso berasal dari keluarga miskin di Pasuruan.  Hijrah ke Yogyakarta karena suami istri menjadi aktivis di partai. Suaminya punya hubungan dengan Pangeran Diponegoro tepatnya menjadi orang yang menyertai sang pangeran sampai ke tempat hukuman, saking setianya.

Pemingitan perempuan 

Kalau suka membaca sejarah di Cakrawala Susindra, pasti akan sering bertemu tulisan saya tentang Raden Ajeng Kartini atau saya sebut langsung Kartini saja. Saya memang menganggap beliau ini sebagai tonggak emansipasi dan dobrakan terkuat pertama pada pintu patriarki. 

Kehidupan perempuan yang berasal dari keluarga kecukupan tidak sebebas perempuan dari golongan wong cilik yang memang dituntut untuk membanting tulang. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tapi di seluruh belahan dunia, tak terkecuali di Arab. Pada awalnya hijab adalah penanda kebangsawanan, karena budak dilarang pakai jilbab.

Pemingitan perempuan berdasarkan golongannya terjadi dalam secara merata di seluruh dunia kurun waktu yang sangat lama. Ada perbedaan di sana-sini mengenai teknisnya, namun tak mengurangi fakta adanya pingitan/pemingitan terhadap kaum perempuan.


Pemingitan - kita sebut demikian - sudah ada sejak zaman Bizantium atau pra-Islam. Dalam Islam/Kristen/Katolik/Hindu/Budha juga terjadi pemingitan yang jenisnya menyesuaikan seberapa konservatif/modern pemuka agama di lokasi tersebut. 

Saya pernah bertanya ke salah seorang kenalan dari keluarga Mangkunegaran trahnya berdarah biru. Menurut beliau di Keraton tak ada pingitan sebagaimana yang terjadi pada Kartini. 

Saya cukup terkecoh dengan statemen ini cukup lama dengan mempelajari perihal seclusion yang disebut "kotak" oleh Kartini pada Stella. Kemudian saya menyadari bahwa "perasaan terkukung dalam kotak" yang oleh sejarawan spesialis Kartini disebut pingitan ini merupakan ekspresi wajar karena Kartini ingin melakukan sesuatu di luar namun dilarang keras. 

Ketika ayahnya mengizinkan maka masyarakat mengecam Bupati Sosroningrat dengan sangat kejam serta membuat gambaran Kartini sebagai sosok genit yang hadir dalam satu gala ke gala lainnya dengan menggunakan gaun Barat. 

Bagaimana dengan putri keraton yang merasa dirinya tak pernah dipingit? 

Ini juga sangat mungkin karena anak-anak perempuan di keluarga istana memang mendapatkan pendidikan tradisional yang diberikan secara maraton pada pingitan yang dijalani gadis-gadis lainnya. 

Proses belajar ini berlangsung dari lahir sampai menikah. Mereka tak perlu keluar karena istana menyediakan segalanya. Jika ada yang merasa penasaran dengan dunia luar, maka darma anak dan darma orangtua menjadi saringan yang ketat. 
Jadi mereka tidak pernah merasa dipingit meskipun tak pernah keluar.

Hal ini menjadi berbeda dengan keluarga Bupati Sosroningrat. Bupati Japara ini mendapat didikan Barat sejak kecil sehingga berpikiran progresif. Beliau sering mengajak anak-anaknya (laki-laki/perempuan) keluar rumah untuk melihat perayaan dan atau bencana. Beliau ingin menggarap kepekaan semua anaknya terhadap kondisi masyarakat dan segala kemelaratannya. 
Hal semacam ini jarang dilakukan oleh bupati lainnya.... 

Namun ada lagi sisi yang diakui oleh Kartini dengan perih, bahwa bukan salah ayahnya jika di antara 11 anak yang disekolahkan, hanya dirinya yang begitu kuat melawan adat bahkan tak jera mendobrak-dobrak pintu feodalis yang mendewakan patriarki, karena begitu teguh memperjuangkan nasib bangsanya. 
Perjuangan Kartini disebut sebagai sebuah pondasi bangunan emansipasi sehingga beliau disebut Pahlawan Emansipasi. Kematiannya pada tahun 1904 sangat mengagetkan sehingga banyak media masa di Indonesia (dulu Hindia-Belanda) membahas tentang sosok dan perjuangan beliau. 11 bulan sebelumnya, media cetak juga membahas pernikahan poligaminya - sebagian dalam bentuk cemoohan yang kuat - sebagai kegagalan perang yang patut disayangkan. 
Tampaknya semua publikasi di atas menjadi pendobrak patriarki di tempat-tempat lain juga sehingga ide/gagasan/pemikiran beliau sampai lebih cepat. Kematian bisa menjadi awal yang baru untuk tumbuhnya semangat memperbaiki keadaan sekitar.





Perjuangan gender dan regulasi yang mendobrak kukungan patriarki

Kita hidup di era yang membuka kesempatan seluas mungkin bagi perempuan yang mau dan mampu. Namun tahukah sobat semua bahwa sebelum tahun 1970, ketika menyebut gender maka asosiasinya lebih pada kondisi fisik perempuan yang dilemahkan dan peran perempuan yang dipinggirkan? 
Studi mengenai gender menemukan titik lontar pada tahun 1980an, ketika beberapa intelektual memisahkan identitas perempuan dengan lebih baik, yaitu jenis kelamin (sex) dan gender (gender).
Makna gender mengacu pada sifat-sifat yang dilekatkan kepada perempuan dan laki-laki oleh masyarakat. Dilekatkan oleh masyarakat dalam bentuk konstruksi sosial yang sangat mungkn berbeda dalam satu budaya ke budaya lainnya. Konstruksi sosial ini juga dapat berubah atau berkembang dari waktu ke waktu berdasarkan kesepakatan bersama.
Bisa juga dikataka bahwa gender merupakan sejumlah karakteristik psikologis untuk perempuan atau laki-laki yang ditentukan secara sosial. 
Meski sudah bernama, namun perjuangan untuk kesamaan gender masih jauh. Setidaknya kita bisa lebih baik dalam mendeskripsikan perjuangan tersebut. Juga tahu apa-siapa yang perlu diubah. Gender jika dilihat dari aspek sosio-kultural, memiliki pengertian sebagai cultural expectations for women and men.
Perjuangan persamaan gender memiliki musuh nyata yang dekat yaitu hasil internalisasi para ayah dan ibu yang sangat kuat patriarkinya sehingga terjadi bias gender. Masyarakat menganggap sifat-sifat pemberani, kuat, perkasa, dan rasional sebagai sifat laki-laki, sedangkan lemah lembut, pasif, sabar, emosional sebagai sifat perempuan. Namun mereka sering lupa bahwa pekerjaan perempuan di rumah juga sangat banyak yang membutuhkan otot, keberanian, kekuatan, keperkasaan dan rasionalitas. 
Perempuan yang sudah berumah tangga belasan tahun tanpa ART biasanya punya lengan yang tebal berotot seperti lengan saya. Hahahaha

Dan muncullah guyonan: wanita kuat jika bisa mengganti tabung gas sendiri, mengangkat galon sendiri, dan bisa menyetir sendiri. 
Tak cukup beratkah pekerjaan kita di rumah?

Jika kita bicara budaya dalam artian geolokasi, pada masa yang sama, lingkungan patriarki Jawa mengharap perempuannya tetap di rumah dalem tanpa perlu keluar, namun patriarki di Bali malah meletakkan perempuan sebagai pembangun jalan dan jembatan....
Di sinilah hegemoni laki-laki dan cara pandang terhadap wanitanya masuk dalam ide-ide tertentu di masyarakatnya. Kontruksi sosial yang didominasi oleh laki-laki masuk dalam ideologi budaya masyarakat, sehingga terjadi budaya pemingitan (seclusion), pengucilan dari bidang-bidang tertentu (exclusion), dan feminitas perempuan (inferiority). 
Perjuangan perempuan membebaskan diri dan kaumnya seringkali mendapat halangan dari keluarga atau kaumnya sendiri. Beberapa mengalami jalan buntu sehingga hanya bisa mengalah pada keadaan. Entah berapa kali saya menjelaskan bahwa membersihkan lantai tak ada hubungannya dengan laki-perempuan tapi pekerjaan yang bisa dilakukan secara bergantian. Ini salah satu contoh super kecil di rumah kami. 
Namun saya juga harus bersyukur sekali untuk pengasuhan anak, kami telah mempunyai semacam kesepakatan untuk bergantian, karena saya masih belum bisa berhenti bekerja.
Tapi mari kita kembali pada sejarah kesetaraan gender di Indonesia pada masa post-modern atau pasca kemerdekaan. Dalam buku Sarinah, kita akan menemukan bahwa presiden pertama kita sering mengajak para laki-laki untuk menghentikan pemingitan yang ia lakukan pada suaminya. Salah satu cerita yang dinarasikan adalah saat beliau bertandang ke rumah teman seperjuangan, tuan rumah menyuguhkan sendiri dengan alasan istrinya sedang ke rumah orangtuanya. Alasan ini bertolak belakang dengan kenyataan yang sebenarnya, dan terjadi beberapa kali, sehingga nama Sarinah diambil sebagai sosok perempuan yang dibebaskan. 
Masa Orba memperlihatkan bagaimana Presiden Soeharto selalu mengajak Ibu Tien ke mana-mana. Maka muncul stigma bahwa keluarga harmonis harus mampu mendidik istrinya agar pantas dibawa saat bertugas ke mana-mana. Saat suami melakukan lawatan, istri bisa belanja-belanji. 
Program BKKBN adalah, "keluarga yang bahagia dan sejahtera menjadi tonggak masyarakat adil dan sejahtera dan bahwa harmoni merupakan satu dari delapan fungsi dasar keluarga sejahtera.” 
Kata harmoni ini mengacu pada kepatuhan istri sehingga langkah pasutri selalu selaras dan seirama. Untuk itu Dharma Wanita dan PKK punya visi misi utama yaitu "istri adalah pendukung setia suami."
Pada masa-masa sebelum reformasi, kasus KDRT bagaikan gunung es, hanya terlihat sangat sedikit. Namun kita bisa melihat bahwa kasus karena napza menjadi sangat massif. Hal ini banyak terjadi karena para istri diharapkan menemani suami sehingga peran sebagai ibu di rumah menjadi terbengkelai.

Puncak perjuangan mendobrak patriarki

Bisa dikatakan sebagai puncak pendobrakan patriarki ketika Khofifah Indar Parawansa didapuk menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Peran ini memang masih sangat minor jika dibandingkan dengan hegemoni laki-laki di ruang menteri maupun ruang politik. Namun, kehadiran Khofifah ini membawa banyak keterbukaan terhadap akses perempuan. Kajian-kajian mengenai gender diaktifkan. Pusat-pusat krisis perempuan bermunculan, yang menyediakan bantuan pendampingan dan pemberdayaan korban kekerasan. Program Studi Kajian Wanita di Universitas Indonesia mulai banyak peminat, lalu disusul oleh universitas-universitas besar di Indonesia. 
Konstruksi sosial mengenai feminin-maskulin menjadi sedikit memudar saat diakui berdasarkan penelitian bahwa perempuan membawa sifat maskulin dan laki-laki membawa sifat feminin, dan itu juga ada dalam gen/DNA mereka. Konstruksi sosiallah yang memberikan izin pada perempuan untuk ketakutan/menangis dan menertawakan laki-laki yang ketakutan/menangis. 

Dan sampailah kita pada masa sekarang, terbukti bahwa anak-anak perempuan menjadi juara 1-3 di sekolah-sekolah dari dasar sampai perguruan tinggi. Ini menepis hasil penelitian pada masa lalu bahwa otak perempuan lebih kecil daripada otak laki-laki. 
Namun, bagaimana kemudian para juara-juara ini selanjutnya? Seperti saya yang kemudian memilih menenggelamkan diri di dalam rumah, karena internalisasi yang saya terima dari keluarga adalah, sebaik-baik perempuan adalah menjadi istri dan ibu yang baik. Itulah yang terjadi di sekitar kita. 
Pendapat di atas sempat goyah di usia yang terlambat ketika saya menyadari bahwa banyak perempuan kantoran yang sukses mendidik anaknya, dan mereka luar biasa. Akhirnya saya memutuskan belajar dan mendidik diri di sebuah komunitas, sehingga kembali on track.

Tulisan ini meski ada unsur sejarah yang kental, juga sebuah ajakan bagi semua perempuan untuk menemukan kebebasannya dari bias gender yang terjadi padanya, atau pada orang di sekitar. Berhentilah menggunakan stigma "aku perempuan maka aku lemah" dan gantilah meski aku di rumah saja namun aku adalah pondasi negara karena anak yang kudidik sekarang ini adalah tiang negara di masa depan. Jangan bedakan pengasuhan anak dengan perbedaan warna atau mainan, atau apapun yang kita dapatkan dari orangtua sebelumnya. Bangunan konstruksi sosial yang memarginalkan perempuan harus segera dirobohkan seluruhnya.
Selamat Hari Ibu!