Kedudukan Istri di Masa Kolonial dari Berbagai Sumber

Selamat Hari Kartini ke-143! Adakah yang sedang memperingatinya? Ada banyak acara hari ini. Bisa berpindah dari satu webinar ke webinar lainnya. Dan seperti biasa, saya membuat sebuah artikel khusus tentang pemikiran beliau yang sekiranya belum banyak dipahami. Kali ini saya akan menjelaskan tentang kedudukan seorang istri di masa kolonial, dari berbagai sumber.

Kedudukan Seorang Istri di Masa Kolonial dari Berbagai Sumber


Jika membaca surat Kartini, coba cermati topik apa yang sedang beliau bahas. Beberapa surat bisa memiliki sepuluh sampai belasan topik. Mengalir saja. Sebagian sedang menceritakan apa yang dilakukan di rumah dalam kurun waktu tertentu, sebagian lagi menjawab pertanyaan dari sahabat yang dituju. Dari situ pula kita bisa belajar tentang banyak hal mengenai kehidupan di masa kolonial. Termasuk ide dan gagasan beliau.

Mungkin ingat surat pertama Kartini kepada Stella, tanggal 25 Mei 1899 yang sangat terkenal itu. Saya bisa membayangkan bagaimana Stella dan semua yang membaca akan tersentak kaget dengan semangat dan keberanian Kartini. 

Dan perkawinan di sini ... oh, kata “azab sengsara” masih terlalu lemah untuk menggambarkannya! Bagaimana tidak, jika hukum nikah dibuat sedemikian rupa untuk benar-benar mendukung laki-laki, dan mengabaikan perempuan? Jika hukum dan adat istiadat  hanya mementingkan laki-laki, bagaimana mereka tidak akan melakukan segalanya? Semuanya? 


Mengapa disebut azab dan sengsara? Bahkan dalam sebuah surat dengan topik sama, Kartini menambahkan:

“Saya berani menantang siapapun yang membantahnya.”

Ayok kita ulas di Cakrawala Susindra....


Cara menikah pada zaman kolonial, dalam surat Kartini

Saya pernah membaca novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Gadis Pantai. Ceritanya tentang kehidupan seorang anak nelayan yang berubah selamanya karena menikah dengan seorang priyayi rendah. Memang bukan priyayi bangsawan, kalau dilihat dari gelar yang diberikan pada selirnya itu. 

Sumber foto: Kompasiana


Pada masa kolonial, sebuah jabatan di dinas sipil (namanya Inlands Bestuur) mendapat kehormatan menjadi priyayi, dengan segala simbolnya. Keris, warna payung, dan jumlah pelayan yang membawakan barangnya juga diatur pemerintah kolonial. Makanya banyak terjadi mobilitas ke atas. Banyak yang dulunya keluarga biasa memilih sekolah lalu mengabdi pada pemerintah kolonial sebagai Inlands Bestuur.

Uniknya pernikahan ini, Pak Pram mengabarkan bahwa kehadiran mempelai diwakili oleh sebilah keris miliknya. Kehadiran “orang tinggi” tidak diperlukan. Penghulu kampung pesisir mana berani menentang hal semacam ini. Gadis itu menjadi istri dengan gelar “Mas Nganten”. Teruskan membaca lebih lanjut karena ada sumber lainnya yang mendukung.

Di kondisi yang dapat dikatakan normal, seorang gadis dapat menikah tanpa persetujuannya. Beberapa kondisi khusus bahkan tanpa diberitahu. Ayahnya (atau yang dinyatakan sebagai wali) sudah cukup mewakili prosesi pernikahannya. 

Si gadis punya dua pilihan: mengikuti suami yang belum pernah ia temui atau menolaknya. Pilihan kedua akan membawanya sebagai seorang istri yang durhaka, dengan hukuman Nusyuz, sehingga suami dapat mengabaikan dia selamanya. Tidak didatangi dan tidak dinafkahi. Saya pernah menulis Catatan Perempuan di Dunia Patriarki yang bisa jadi data pendukung.

Kartini pernah menulis tentang cara menikah pada Rosa Abendanon pada tanggal 29 November 1901:

Pernikahan bisa berlangsung sepenuhnya tanpa keterlibatan pihak perempuan. Untuk mengatur pernikahan hanya diperlukan izin dari ayah, paman atau saudara laki-laki dari wanita tersebut. Di prosesi pernikahan, kehadiran gadis itu sama sekali tidak diperlukan. Hanya ketika dia tidak memiliki ayah, paman atau saudara laki-laki, kehadirannya di pesta pernikahan diperlukan. Wali kami dapat menikahkan kami dengan siapa pun yang mereka inginkan.


Kepada Stella pada tanggal 23 Agustus 1900:

Di sini, para perampuan tidak memiliki suara. Mereka dinikahkan menggunakan kekuatan kehendak orang tua atau wali mereka, dengan siapa pun yang dapat disetujui oleh figur otoritas ini. Dalam dunia Islam, persetujuan perempuan, ya, bahkan kehadiran perempuan, tidak diperlukan saat melangsungkan pernikahan. Ayah, misalnya, bisa saja hari ini pulang dan memberi tahu saya: 'kamu menikah dengan si fulan'. Saya kemudian harus mengikuti suami tersebut, atau saya bisa menolak. Tetapi pilihan kedua ini akan memberi pria itu hak untuk mengikat saya padanya seumur hidup, tanpa harus mengkhawatirkan dirinya sendiri sedikit pun, tentang kesejahteraan saya. Saya akan menjadi istrinya, bahkan jika saya tidak mengikutinya ke rumahnya, dan jika dia tidak ingin menceraikan saya, maka saya akan terikat padanya selama sisa hidup saya, sementara dia tetap bebas melakukan apa yang dia inginkan, menikah seberapa banyak pun perempuan yang dia inginkan, tanpa memberitahu saya. 
Untuk menikah, laki-laki hanya perlu menemani ayah, paman atau saudara laki-laki gadis itu ke penghulu, atau orang lain dan pernikahan itu diatur, bahkan jika gadis itu tidak ada hubungannya dengan itu. Jika orang tuanya menginginkannya, maka dia akan menikah. 

Apakah cerita Kartini ini sesuai dengan keadaan pada masa itu? Silakan cari lebih banyak referensi. 

Masih ada satu lagi cerita dari entah berapa puluh cerita, yaitu tentang kedudukan ipar Kartini di rumahnya. Kisah ini diceritakan pada Rosa dalam surat tanggal 29 November 1901.

Suatu hari, kakaknya (tidak disebut nama tapi saya menebak Sosroboesono) pulang ke rumah untuk liburan. Cuti panjang yang memang jadi hak pegawai. Ia datang bersama seorang perempuan yang dikenalkan sebagai governess (guru privat) untuk pelajaran kedaton. Kedaton adalah pelajaran tata krama Istana Surakarta. 

Beberapa hari kemudian mereka merasakan kemarahan bercampur kesedihan yang luar biasa saat mengetahui bahwa gurunya itu adalah ipar mereka sendiri. Istri yang tidak dapat diakui di depan masyarakat karena tidak berdarah bangsawan. Kartini dan adiknya melakukan "perlawanan kecil" dengan menjawab bahwa perempuan muda yang datang itu adalah kakak ipar mereka, istri dari kakaknya.

Kenapa hal itu terjadi? 

Memang seperti itulah tradisi di masa itu. Secara umum, seorang laki-laki dikatakan bujang jika masih belum menikah dengan seorang raden ajeng. Istrinya hanya satu, dengan status raden ayu. 

Fun fact, tanpa perlawanan mereka, seluruh kabupaten juga tahu jika raden mas X punya istri ke sekian yang bukan bangsawan/priyayi, kecuali orang nonpribumi yang tinggal di sana. Atau tahu tapi tak perlu tahu.

Istri lainnya, berapapun jumlahnya, tentu saja diakui berstatus istri dalam keluarga, bahkan dapat status mas ajeng. Namun mereka tinggal di luar dalem (rumah utama). Ini mungkin semacam upaya meniru sistem pernikahan monogami orang Belanda atau Eropa dengan cara lain. Meniru penjajah memang menjadi mental masyarakat yang sudah bertahun-tahun dijajah. 


Kedudukan Istri dalam pembahasan Kongres Perempuan Pertama

Masalah kedudukan istri menjadi salah satu yang banyak dibicarakan di dalam Kongres Perempuan. Kedudukan istri pada masa itu masih sangat rendah. Terutama mereka yang tidak memiliki pendidikan.



Oleh karena kali ini adalah tulisan untuk perayaan Hari Kartini, maka saya mengutipnya lagi:

Tidak, wanita yang benar-benar berpendidikan tidak mungkin merasa puas dalam masyarakat pribumi sementara tetap seperti itu. Ada, sampai sekarang hanya ada satu cara bagi gadis pribumi untuk menjalani hidup dan itu adalah 'pernikahan'. 


Tebakan Kartini tidak salah. Banyak perempuan yang gelisah. 24 tahun setelah kematian Kartini, memang perempuan berpendidikan memang sudah ada yang bisa memilih suami sendiri. 

Kenapa 24 tahun? Kan kita bicara tentang Kongres pertama tersebut yang diadakan pada tahun 1928…. Jadi, selisihnya sudah satu generasi sendiri. Bicara konggres ini, yuk baca Dua Karya Istimewa W.R. Soepratman di Konggres Perempuan Pertama.


Sedikit tentang faktanya  pembicara Kongres Perempuan Pertama:

  1. Ada limabelas pembicara yang berasal dari sepuluh organisasi yang berbeda Peserta kongres adalah utusan dari 23 organisasi yang berlandaskan agama Islam, Katolik, dan non-agama.
  2. Mayoritas pembicara berasal dari Jawa, dan ada satu orang pembicara berasal dari Sumatera
  3. Topik-topik yang diangkat oleh pembicara meliputi masalah domestik, seperti perkawinan, poligami, westernisasi, dan pendidikan.


Kali ini saya akan mengutip peidato dari Ny. R. Ay. Soedirman di Kongres Perempuan Pertama. Pidato ini bisa dijadikan sebagai tambahan data faktual tentang cara menikahkan anak pada masa lampau:

Kalau lelaki senang pada soeatoe istri, lelaki itoe lantas minta pada orang toewa atau wali kita kaoem istri. Istri jang dipinta ini tidak ditanja lebih-soeka atau tidaknya akan dikawin si A atau si B, tetapi hanja diberi tahoe sadja emoemnja pada beberapa hari sebeloemnja dia dikawinkan, dan maoe atau tidak... dikawin dia moesti.

Hak menolak, hak bersoeara menoeroet perasaan sendiri, apalagi hak kawin sendiri, sebagai[mana] lelaki memilih mana jang disoekainja, itoelah kaoem istri sekali-sekali tidak mempoenjai. Meskipoen itoe lelaki djelek, meskipoen dia tidak berhatsil, meskipoen dia tidak kita soekai, tetapi asal dia soedah soeka pada kita serta wali kita accord, moesti kita menoeroet djoega, dengan tidak dipandang jang kita masih beloem dewasa, dan bahwa toch kita jang kemoedian akan tanggoeng resiconja.

Jadi tak ada kata tidak yang bisa disuarakan. Hanya harus menurut dan menanggungnya.

Begitoepoen joega keada'an kita sesoedahnja kita ditangannja lelaki. Maoe atau tidak, kita haroes menoeroet soewaranja. Djikalau tidak begitoe ataoe dia soedah bosen maoe atau tidak kita mesti pergi, diboewang ditendang dan disingkirkan sebagai soeatoe barang jang ta' berharga. Bertereak setinggi langit, kita tidak bergoena. Itoelah semoe soedah oemoem mendjadi "haknja" lelaki. Atas hal ini kita semata-mata hanja sebagai perkakas belaka, sebagai "lijdent voorwerp", karena dalam hal ini kita hanja poenja hak boeat di.. "(wordt ge... sadja).


Semoga tidak bingung ya. Saya sengaja mengutip apa adanya saja, bukan karena malas tapi agar lebih tahu saja seperti inilah bahasa Indonesia kita sebelum merdeka. Banyak campur kode (kata) dengan aneka bahasa, dan belum ada pembakuan.


Kedudukan perempuan dalam buku Ayahku karya Buya Hamka

Saya mengutip dari surat dan pidato, yang keduanya dari kalangan perempuan. Kali ini saya akan mengutip dari laki-laki yang sangat terkenal, Buya Hamka.

Buku Ayahku karangan HAMKA sebenarnya adalah biografi ayahnya, yaitu Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Kadang saya menyingkatnya menjadi HAKA karena namanya cukup dekat dengan nama asli Buya Hamka. Judul bukunya, AYAHKU: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra.

Sumber foto: Goodreads


Simak tulisan beliau ini:

Salah satu perkara yang banyak juga dibicarakan pada waktu itu ialah dari hal Fasakh Nikah si Kani. Oleh karena sempitnya faham ulama lantaran ber-taqlid, maka selama ini sangatlah sempit hak yang diberikan kepada perempuan. Hukuman Nusyuz, yaitu durhaka, selalu ditimpakan kepada seorang perempuan yang tidak menerima baik perlakuan suaminya yang menganiayanya. Misalnya, seorang laki-laki mudah saja menuduh istrinya durhaka, sebab itu tidaklah wajib dinafkahi lagi. Baik nafkah lahir atau nafkah batin. 1001 macam sebab-sebab yang mudah dijadikan sebab seorang istri mendurhaka. Dan hukuman itu dikuatkan oleh Tuan Kadhi sendiri.

Bagaimana akibatnya istri yang dihukumkan nusyuz itu? Mereka tidak dipulang-pulangi lagi, tidak diberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan. lnilah hukuman yang seberat-beratnya yang ditimpakan kepada perempuan. Dan Kadhi dengan ini pulalah selalu menunjukkan kekuasaannya.


Teringat dengan isi surat Kartini di atas? Ada kesamaan kan, tentang nasib istri yang tidak dinafkahi, tidak dicerai. Dalam masyarakat Minang saat itu, tradisi ini punya nama, yaitu “menggantung tidak bertali”. Mari kita lanjutkan:

Kerap kali perempuan menjadi gila lantaran hukuman seperti ini, dan ada yang nekat, lalu pergi ke mesjid memaklumkan di muka ramai, bahwa dia mulai saat itu juga keluar dari agama Islam, tidak percaya kepada Allah dan tidak percaya kepada Rasul dan mendustakan Qur' an. Karena dengan jalan ke luar dari agama Islam itu dengan sendirinya putus pula tali pernikahannya dengan suaminya. Adapun perempuan yang tidak terdidik, tentu saja terpaksa tersesat lantaran bertahun-tahun awak bersuami, tetapi tidak ada tanda bersuami.
Kadhi-kadhi dalam daerah Kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur (sebelum Revolusi), senang sekali menjatuhkan hukum nusyuz ini.


Hukum Nuyuz terjadi karena peran kadhi (penghulu) sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Mereka bisa saja taklik buta terhadap keputusan yang sudah ada sebelumnya. Membeo tanpa memikirkan lagi akibatnya. 

Dikisahkan, pada tahun 1920an, ada seorang perempuan bernama Kani yang meminta tolong pada ayah Buya Hamka ini, untuk memutuskan pernikahannya dengan suami. Kani ini tampaknya perempuan cerdas yang sudah sekolah. Mungkin sekolah agama. Ia bisa menemukan celah dalam hukum yang dipakai kadhi dalam memutuskan status “menggantung tidak bertali”. 

Ia dapat menjawab dengan tepat setiap pertanyaan dalam penyelidikan. Ketika ditanya, bencikah ia pada suami, perempuan ini dapat menjawab bahwa ia suka pada suaminya tapi sang suami tak sanggup menafkahinya. Faktanya memang ia pernah dinafkahi sebelum digantung. Jika ia menjawab benci, maka ia akan menerima hukum 'istri durhaka' dan selamanya digantung.

Setelah menyelidiki kedua belah pihak, maka pernikahan tersebut dapat dicabut dengan alasan cacat hukum.” Tentu saja bukan tanpa kehebohan senusantara….. Bahkan Dr. Hazeu yang menjadi penasihat Belanda untuk urusan-urusan yang mengenai agama Islam pada waktu itu ikut mengiriminya sebuah surat resmi. Surat itu menggunakan dasar fatwa ulama-ulama yang sudah ada. Tentu saja akhirnya tak ada yang bisa membatalkan keputusan fasakh ini. 


Peran pemerintah kolonial dan informasi lainnya

Dr Hazeu dan tokoh penasihat untuk urusan mengenai agama Islam tak dapat masuk terlalu dalam dalam urusan agama. Mereka tidak mau mengalami pertentangan dengan orang Islam di negeri jajahannya. Sebisa mungkin menghindari.

Pemerintah kolonial: Binnenland dan Inland Bestuur


Gubernur Jenderal dalam keputusan tertanggal 19 Mei 1820 No. 1 melarang mencampuri persoalan agama penduduk pribumi. Kebijakan ini ditujukan kepada para Bupati di Jawa dan Madura. Dikukuhkan lagi dengan kebijakan kedua, yaitu Regering Reglement 1854 pasal 119. Isinya semua orang atau setiap individu untuk memberikan kebebasan melaksanakan agamanya.

Barulah pada tahun 1882, pemerintah mulai campur tangan. Menggunakan staatsblad 1882 No.152, pemerintah membentuk Peradilan Agama (Priesterraden) atau biasa disebut Raad Agama. Namun demikian, hak dan kedudukan istri masih sangat sempit dan terpojok. Atas nama agama, mereka dapat diperlakukan semena-mena.

Selanjutnya, lahir Ordonansi Pencatatan Perkawinan, yaitu: Staatsblad 1895 jis 1929 No. 348, staatsblad 1931 No. 348, dan staatsblad 1933. Perlahan, muncul gagasan menggunakan taklik talak sebagai sarana pendidikan bagi para suami agar lebih mengerti kewajiban terhadap isteri. Namun masih berkisar tentang kewajiban nafkah dan tentang larangan penganiayaan jasmani istri. Hanya suami yang dapat menceraikan istrinya. Istri sama sekali tidak punya hak.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan zaman serta bertambahnya ulama menjadi pembaharu, maka rumusan taklik talak semakin disempurnakan. Kedudukan istri pada masa kolonial lebih terlindungi, yaitu jika sudah talak tiga maka suami tak dapat menikahinya lagi, sebelum si istri menikah kembali.

Namun ini pun menurut HAKA menjadi “bisnis” bagi para kadhi/penghulu. Ada saja kadhi yang menyiapkan pernikahan palsu agar pernikahan keduanya dapat disambung kembali. Praktik ini banyak terjadi di Ranah Minang pada masa kolonial. Bagaimana dengan Jawa dan wilayah lainnya? Mungkin ini perlu waktu untuk mencari datanya lagi.


Penutup

Kiranya cukup sekian dulu ya, cerita saya kali ini . Lain kali akan ditulis ulang di artikel lain dalam bentuk yang lebih “nytori telling”. Saya bukan sedang malas memparafrase, hanya ingin semua sobat Susindra membaca dalam bentuk aslinya saja. Jadi bisa lebih percaya, lebih mengetahui, seperti apa sih perjuangan panjang sebelum kita hidup lebih enak di masa sekarang. Bahkan satu generasi setelah kematian Kartini pun perjuangan memerdekakan perempuan masih kepayahan.



Belajar sejarah perempuan agar lebih mensyukuri keadaan sekarang yang sudah jauh lebih baik. Selamat Hari Kartini ke-143! Berbahagialah dengan apapun yang dimiliki sekarang ini, karena itulah kekayaan kita, hasil perjuangan panjang kita bersama.




11 Komentar

  1. Mengetahui peranan kartini dan kiprahnya buat literasi memang penting, uraiannya artikel lengkap

    BalasHapus
  2. Beruntung hidup saat ini. Saya pun selalu mengajarkan kesetaraan di keluarga kecil saya. Saya beruntung karena punya anak laki2 dan perempuan.

    Beberapa kali orang lain menegur anak perempuan saya karena sikapnya. Saya tidak risau dg tegurannya karena itu baik. Namun pilihan katanya yang rasa kurang pas.

    "Anak perempuan kok gitu?"

    Lalu saya benarkan "Ya semua anak perempuan atau laki2 ya sama enggak boleh begitu."

    BalasHapus
  3. Nggak habis pikir betapa rendah kedudukan istri pada masa itu. Seolah nggak bisa menentukan hidupnya sendiri. Bahkan untuk sekedar memilih pendamping sesuai kehendak hati pun nggak bisa.

    BalasHapus
  4. Membaca ini saya sedih sekaligus bersyukur. Sedih karena perempuan jaman itu seolah-olah hanya sebuah barang saja, tanpa perasaan, diberikan (dinikahkan) tanpa bisa menolak. Bahkan tak yahu prosesnya, tiba-tiba disuruh ikut lelaki yang tak diketahui sebelumnya.

    Bersyukur karena saya terlahir di jaman di mana perempuan diberi kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan menunjukkan eksistensi dirinya

    BalasHapus
  5. Nggak bisa bayangin kalo saya hidup di masa kolonial dan nggak bisa milih suami sendiri, yg mana pastinya di masa itu sikap patriarkhi masih kental banget

    BalasHapus
  6. Inginku bertemu dengan kak Susi dan bercerita lebih banyak masalah sejarah ini.
    Semakin banyak digali dan ditemukan banyak fakta mengenai wanita dan ((bisa dikatakan)) ketidakadilannya di zaman dulu, aku jadi sedikit demi sedikit memahami kultur pada zaman itu.

    Karena di beberapa drakor, terutama yang sedang aku tonton saat ini, ada beberapa sudut pandang penulis, Lee Min Jin mengenai posisi wanita saat itu. Antara miris dan memang begitulah tatanan sosial yang terbentuk.

    Pertanyaanku adalah ketika tidak ada sosok Kartini, misalnya.
    Apakah wanita akan terus berpikiran sempit?
    Aku jadi berpikir bahwa memang bukan Kartini sosok satu-satunya wanita pelopor emansipasi wanita pribumi saat itu. Tapi dunia berubah dan mungkin saja peradaban Indonesia yang politiknya terbuka, akan siap menerima yang namanya "emansipasi" wanita.

    Eh, maaf...kak Susi.
    Aku hanya berandai-andai... gak menafikan sosok Ibu Kartini yang membawa peran besar dalam kehidupan wanita hingga saat ini.

    BalasHapus
  7. Jika diulas lebih mendalam kisah Ibu Kartini ini sungguh dalem banget. Penuh sejarah yang luar biasa, dibalik itu kita juga perlu bersyukur dengan kehidupan di masa kini.

    BalasHapus
  8. Pada jaman kolonial wanita masih tidak mendapatkan haknya. Tidak bisa berpendapat dan memilih. Bangga dengan ibu kartini yang berusaha meningkatkan derajat kaum perempuan

    BalasHapus
  9. Iya melihat bagaimana kondisi pada zaman dulu sangat prihatin. Alhamdulillah ada perempuan2 cerdas di zaman itu yg bisa menggerakan dan menginspirasi perempuan2 lainnya tuk bisa lebih berdaya dan maju

    BalasHapus
  10. Wah, ini sudah Hari Kartini ke berapa tahun ya, dan saya setuiap tahunnya saya pasti baca postingannya Mba Susi. Mungkin udah yg keempat tahunnya ini saya rutin mampir di tulisan bertema Kartini ala Susindra.

    Setelah membaca petikan surat-surat Kartini kepada Stella dan Rosa, saya bersyukur sekali lahir sebagai generasi milenial mba. Hahahaha.

    BalasHapus
  11. Bersyukur dengan kehadiran Ibu Kartini, perempuan Di Indonesia pun memiliki pemikiran yang sedikit banyak bersumber dari beliau. Pastinya sejarah Ibu Kartini ini jika diulas lebih dalam akan memiliki nilai historical yang bermakna

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkenan meninggalkan jejak di sini. Mohon tidak memasang iklan atau link hidup di sini. :)