Blog Cakrawala Susindra sekarang sering menulis tentang sejarah, ya. Dan sejarahnya anti mainstream. Lebih ke sisi lain yang jarang diketahui dan tidak masuk di pelajaran sejarah. Jadi akan banyak yang merasa senang datang ke blog ini karena mendapatkan informasi baru. 

Jadilah pahlawan dengan penamu


Kali ini saya menulis ajakan menjadi pahlawan dengan pena. Masih bertema sejarah juga, karena terinspirasi oleh kegiatan hari Selasa, 9 November lalu di Pendopo Kabupaten Jepara. 

Ada sahabat-sahabat dari Karimunjawa yang datang ke Jepara untuk melakukan perform tari dan pencak silat di Pendopo Kabupaten Jepara. Mereka adalah:

  1. Sanggar Satu Darah (pencak silat baruga Bugis pimpinan Bang Jack Bunga Jabe)
  2. Sanggar Danangdjoyo pimpinan Mbak Atik (tari, Karimun)
  3. Sanggar Pamojan (tari, Kemujan)
  4. Sanggar Sipakaengek (tari, Kemujan)


Yang saya beri keterangan di atas kebetulan sudah kenal cukup lama dan semoga nanti bisa kenalan dengan sanggar lainnya. Di Karimunjawa sudah ada sanggar-sanggar kesenian dan mereka mengisi acara-acara seni-budaya lokal, misalnya Barikan Kubro

sanggar tari dari karimunjawa


Jadi guide dadakan

Hari itu saya, Mas Apeep dan Mas Daniel menemani teman-teman dari Karimunjawa untuk tour di Pendopo Kabupaten Jepara. Ala-ala guide tapi tak bersertifikat. Modalnya mau dan mampu. Biasa dan bisa. 

Kami bagi tugas secara spontan di lokasi karena pada dasarnya semuanya menguasai banyak hal tentang sejarah dan pendopo, sampai ke rahasia-rahasianya. Memang ada spesialisasinya sendiri, tapi kalau untuk menjadi guide berdata antimainstream, kami bisa berdiri sendiri-sendiri jika memang harus demikian. 

Oleh karena tamu hari ini istimewa... kami berangkat bersama. Kami mulai dari sejarah ringkas Jepara dan Karimunjawa sebagai jalur rempah sampai ke arsitektur pendopo, dan diakhiri dengan sekolah milik Kartini di teras rumah. Bagian akhir ini bagian saya.



Lalu? Apa hubungannya dengan tema kali ini yaitu "Jadilah pahlawan dengan penamu?"

Ayok mulai dengan sebuah cerita tentang perjalanan ke masa lalu para pahlawan kita.... Tulisan ini adalah pengembangan dari pemaparan yang saya berikan pada para sahabat dari Karimunjawa.


Apa beda kepahlawanan Kartini dengan yang lainnya?

Apa beda kepahlawanan Kartini dengan yang lainnya? Dengan Cut Nyak Dien dan Dewi Sartika, misalnya? Mereka sering dibenturkan, ya? Hehe. Enggak capek apa? Kalau saya sih ga pernah capek karena akan terus menghasilkan kajian dari pertanyaan tersebut.

Tanpa memandang tahun (karena sekolah kecil buatan Kartini di Pendopo Kabupaten Jepara memang yang pertama), ada Dewi Sartika di Bandung, ada Kardinah (adik Kartini) di Tegal, ada Ety Waworuntu di Minahasa, ada Rohana Kudus di Tanah Minang.... apa yang membedakan dengan Kartini? 

Ini pertanyaan pembuka saya. Memang targetnya untuk menggali ketertarikan para adik-adik sanggar dari Karimunjawa yang kami temani. Ketika diminta memaparkan tentang 'sekolah teras', saya ingin memasukkan semangat literasi dan harapan agar mereka akan sekolah dengan rajin sampai setinggi mungkin.

Tanpa memandang masa dan durasi, bisakah sobat Cakrawala Susindra menjawabnya? Kartini menang pada angka tahun tapi kalah pada durasi hidup. Semua tahu itu dan selalu menggunakannya untuk mempertanyakan kenapa ada Hari Kartini.

Literasi adalah jawabannya. Semua tokoh di atas, saya yakin punya karya berupa buku. Berapa oplah dan siapa pembacanya tak perlu diperdebatkan lama-lama. 

Foto ilustrasi dari Canva

Yang membuat nama Kartini abadi (W.R. Soepratman mengatakan "Harum namanya") adalah tulisannya. Gagasannya tentang mengapa perempuan harus terdidik berkelana melewati batas ruang dan waktu. Seruannya Geef de Javaan Opvoeding! atau "Berikan Pendidikan untuk Orang Jawa!" membahana dan dibahas di sidang parlemen Belanda dan tentu saja di pemerintahan Hindia. 

Oh jangan lalu mengatakan kenapa hanya Jawa karena konsep "luar Jawa" sudah disadari namun belum terjamah lengannya sehingga tentu saja tidak disebut. Kartini menulis surat pada seorang gadis di Mapane Sulawesi Tengah melalui Dr. Adriani.

Ide, gagasan, dan konsep sekolah untuk anak perempuan yang dibuat oleh Kartini diadopsi oleh generasi selanjutnya, dalam bentuk sekolah-sekolah. Ceritanya tentang murid berusia balita, dan kebetulan laki-laki, menggunakan metode Froebel diadopsi di PAUD dan TK sampai sekarang meski sudah ada Montessori dan kawan-kawan. Froebel sang Bapak Taman Kanak-Kanak memang hadir terlebih dahulu bahkan jauh sebelum Montessori lahir.

Ide dan gagasan Kartini masih terus digali implementasinya dalam dunia saat ini, bahkan oleh para peneliti dalam dan luar negeri dengan titel akademik berjilid-jilid. Ide dan gagasan Kartini merupakan warisan budaya tak ternilai harganya, dan ini diakui oleh dunia akademik.

Pena Kartini bukan hanya menghasilkan Geef de Javaan Opvoeding akan tetapi jauh lebih banyak. Namun yang satu ini berhasil mengoyak-oyak kebijakan kolonial tentang konsep pendidikan yang awalnya berbiaya mahal (baik pendirian sekolah maupun biaya masuk) menjadi pendidikan berbiaya murah dengan sistem patron yang kelak disebut "Sekolah Kabupaten". 

Sekolah-sekolah baru didirikan di teras-teras rumah bupati, dengan biaya patungan dari warga masyarakat kelas atas, sehingga nyaris gratis bagi muridnya. Ketika murid sudah mencapai kapasitas maksimum barulah didirikan sekolah di tempat yang baru. Tentu saja sekolah-sekolah ini bisa mengajukan dana bantuan ke pemerintah.

Sekolah-sekolah ini, yang dibuat oleh perempuan-perempuan pejuang, yang saat ini sebagiannya sudah dianugerahi pahlawan, menjadi dian di kegelapan malam, sehingga membangunkan ayam jago patriotisme yang berkokok memanggil temannya. Fajar Kebangkitan Nasional dimulai saat Kartini sudah cukup lama menutup mata. Hasil penanya yaitu Door Duisternis tot Licht: Gedachten over and voor het Javaansche Volk selalu menjadi cetak biru bagi perjuangan dalam memerdekakan diri dari kebodohan dan penjajahan. 

fajar kebangkitan nasional
Ilustrasi fajar kebangkitan nasional


Tulisan Kartini menjadi salah satu suluh bagi para pemuda yang memperjuangkan sesamanya agar dapat membebaskan diri dari kebodohan yang diciptakan dan dilestarikan oleh penjajahan selama bergenerasi-generasi. Begitu lamanya sehingga mereka yang disebut orang asli terlalu sibuk mencari uang seketip untuk membeli sepiring makanan. Jatah makan dalam sehari, yang bahkan saat ini lebih buruk kualitasnya daripada makanan ayammu saat ini. Jangan bayangkan sesuap nasi... apalagi ditambah seceplok telur. Jauuuuh! Nasi hanya untuk mereka yang berdasi.


Jadilah pahlawan dengan penamu!

Setelah mengetahui tajamnya pena Kartini mengoyak-oyak kebijakan kolonial tentang pendidikan - dan bukan hanya pendidikan untuk perempuan - saya akan mengajak sobat Cakrawala semua, para semua pembaca setia tulisan sejarah dan tulisan tentang Kartini, untuk menjadi pahlawan dengan pena masing-masing.

Ajakan ini saya serukan untuk para adik-adik anggota 4 sanggar tari dan pencak silat dari Karimunjawa, pada Selasa 9 November kemarin. Karimunjawa masih menjadi surga yang ditunggu kabar beritanya. Tulisan apapun sangat dinanti. Tulisan, foto, dan video hari ini mungkin akan menjadi sejarah berharga di masa mendatang karena Karimunjawa masih memiliki budaya lokal yang dijaga sampai saat ini. 



Banyak pemuda yang berupaya untuk menjaga tradisi, kesenian, dan budaya di sana. Mereka adalah pahlawan masa kini. Terrmasuk para adik-adik yang datang kemarin. Mereka menciptakan sejarah indah Karimunjawa. 

Perlu diketahui bahwa di Karimunjawa ada 6 suku yang hidup sangat harmonis. Tak ada sengketa kesukuan. Masing-masing suku menjaga tradisi sesuai ingatan mereka yang samar-samar karena jauh dari nagari induknya sekian lama. Beberapa tradisi telah berakulturasi sempurna menjadi kebudayaan baru. Merekalah, para warga asli, yang bisa menulisnya dengan detail. Bukan kami yang merupakan orang luar dan hanya dapat melihat kulitnya. Kami sudah memulainya dengan Ekspedisi Karimunjawa, maka teruskanlah. Gali cerita mereka yang tinggal di Karimunjawa lebih lama.

Kami telah mencatat kisah Pak Lamuna dari Suku Buton, kisah Legonlele dari Mbah Maspan, versi Pak Mulyanto, dan ahai! Saya lupa di mana saya menulis tentang Kemujan, Bugis dan lainnya. Wah, perlu ditulis di sini, nih.

Foto! Video! Tulis! Catat semua dalam semua platform yang kalian ketahui, karena setiap karya tersebut sangatlah berharga bagi generasi mendatang. Ciptakan kebanggaan menjadi orang Karimunjawa agar tidak menjadi Maldives kesekian di dunia ini, yang tercerabut dari budaya asalnya demi pariwisata.

Catatan kita kini, seremeh apapun, adalah sejarah di masa yang akan datang....



Berkaryalah, sobat semua, dan jadilah pahlawan di wilayahmu. Perbanyak membaca dan menulis, agar bisa menjadi Kartini-Kartini muda yang ikut memberi tonggak pada dunia dan peradaban manusia! Jadilah pahlawan dengan penamu!